TUGAS
UPANISAD II
CERITA TENTANG
“KELAHIRAN BHATARA KALA”

Oleh:
Gede Ari Krisna Putra
10.1.1.1.1.3874
PAH III B
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
IHDN DENPASAR
2012
KELAHIRAN
BHATARA KALA
Dalam
Lontar Tattwa Kala, diceritakan pada suatu hari ketika Bhatara Siwa sedang
jalan-jalan dengan Saktinya Dewi Uma ditepi laut. Karena ulah Bhatara Maruta
(Hyang Bayu), yang terus menerus berhembus, kain Bhatari Umi sering terangkat
agak keatas, sehingga betisnya yang “iwir pudak anggrawit” sering
terlihat oleh Bhatara Siwa Trinetra. Menyaksikan betis Bhatari Uma yang “iwir pudak anggrawit” itu, nafsu Sang
Bhatara menjadi bangkit. Bhatara Siwa lalu memohon kepada Saktinya agar mau
melayaninya untuk melakukan patemon, tetapi ditolak, karena prilaku yang
demikian tidak sesuai dengan prilaku Dewa-Dewi di Kahyangan. Karena tidak dapat
menahan nafsu akhirnya tidak terasa air maninya sampai meleleh dan berjatuhan.
Karena ajakannya ditolak oleh Sang Bhatari, Bhatara Siwa dengan Saktinya
kembali ke Kahyangan (Siwa Loka).
Air
Mani Bhatara Siwa yang melelehitu sampai menetes ke laut, kemudian dijumpai
oleh Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, lalu dibinanya dan dirawatnya terus
dipuja dengan japa mantra. Karena demikian benih itu kemudian lahir menjadi
Raksasa yang hebat, dan terus menggeram-geram menanyakan siapa ayahnya dan
siapa ibunya. Kemudian oleh Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, Sang Raksasa yang
maha hebat dan maha Sakti itu diberi tahu, ayahnya adalah Bhatara Siwa dan
ibunya Bhatari Uma, dan meminta agar diakui sebagai putranya dan memohon
Waranugraha, apa yang pantas dimakannya. Sebelum diakui sebagai putranya dan
sebelum dianugrahi, Bhatara Siwa meminta agar taringnya yang panjang itu
dipotong terlebih dahulu, agar dapat melihat wujud ayah dan ibunya, yang
seutuhnya. Petunjuk Bhatara Siwa diakui oleh Raksasa itu. Setelah taringnya itu
dipotong barulah Raksasa itu dapat melihat wujud Bhatara Siwa dan Bhatari Uma
yang seutuhnya.
Sejak
itulah Raksasa itu diberi gelar Bhatara Kala, dan tidak ada kesaktian dan
kekuasaan yang menghalanginya dan oleh Bhatara Siwa diberi anugrah, bahwa
Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada Tumpek Wayang. Anugrah itu
diberikan adalah untuk memperingati hari lahirnya Bhatara Kala sendiri.
Kebetulan Bhatara Rare Kumara adalah Putra Bhatara Siwa, yang sama-sama lahir
pada hari Tumpek Wayang. Karena lahirnya disamai oleh adiknya sendiri. Bhatara
Kala menjadi sangat marah. Sesuai dengan anugrah Bhatara Siwa kepadanya,
Bhatara Kala kemudian memohon untuk memakan adiknya Bhatara Kumara.
Tetapi
Bhatara Siwa masih bertangguh, karena adiknya masih kecil. Kelak kalau sudah
besar, baru boleh dimakan. Hampir setiap waktu Bhatara Kala, memohon untuk
melindungi Bhatara Rare Kumara, akhirnya Bhatara Siwa memastu, agar Bhatara
Rare Kumara tetap menjadi anak-anak (rare) dan sejak itu bertugas menjaga,
melindungi dan mendidik para bayi. Akal Bhatara Siwa untuk melindungi Bhatara
Rare Kumara itu, akhirnya diketahui oleh Bhatara Kala. Ia tidak sabar lagi, dengan
sikap buas, Bhatara Rare Kumara dikejarnya. Dalam pengejaran itu pada suatu
hari, kebetulan Bhatara Siwa dengan Saktinya Bhatari Uma, dijumpai sedang
mengendarai lembu putih jantan. Kebetulan pada saat pengejaran Bhatara Rare
Kumara itu Bhatara Siwa dijumpai ditengah jalan, tepat pada saat tengah hari
pada waktu hari Tumpek Wayang. Bhatara Kala berkehandak memakan Bhatara Siwa
dengan Saktinya, karena berjalan-jalan pada tengah hari bertepatan pula dengan
hari Tumpek Wayang.
Bhatara
Siwa rela dimakan oleh puteranya sendiri, asalkan dapat memecahkan atau
menjawab teka-teki yang akan ditemukan oleh ayahnya. Bhatara Kala menyanggupi.
Maka Bhatara Siwa pun pada waktu itu mengemukakan teka-tekinya sebagai berikut:
“Om Asta Pada Sad Lungayan Catur
Puto Dwi Purusa, Eka Bhagamukka enggul, Dwi Srenggi”.
Kemudian bhatara Kala, segera menterjemahkan teka-teki yang berbentuk sloka
itu, yang berarti; Bhatara Siwa berkeadaan berkaki delapan yaitu kaki Bhatara
Siwa Dua Buah, Kaki Bhatara Uma dua buah, kaki lembu empat buah, bertangan
enam, yaitu Bhatara Siwa bertangan empat, Bhatari Uma bertangan dua, buah
pelirnya empat; yakni Bhatara Siwa buah pelirnya dua. Lembu buah pelirnya dua;
berpalus dua, yakni palus Bhatara Siwa satu, palus lembu putih jantan satu;
satu bhaga (vagina) yakni Vaginanya Bhatari Uma, berekor satu yaitu ekor lembu,
bertanduk dua, yakni tanduk lembu, Sapta Locanam (tujuh mata), yakni mata
Bhatari Uma dua, mata lembu dua, mata Bhatara Siwa yang nyata kelihatan dua.
Kemudian Bhatara Kala diam, tidak bisa menjawab karena tidak dapat melihat mata
Bhatara Siwa yang gaid satu, pada waktu itulah Bhatara Siwa menjelaskan bahwa
mata yang satu lagi adalah yang terletak dibawah “Cuda Mani”, yang dapat
melihat semua keadaan Tri Bhuana ini dan Siwa pada waktu itu disebut sebagai
Bhatara Trinetra (Dewa yang bermata tiga), akhirnya Bhatara Kala kalah. Dan
matahari sudah condong ke barat, sehingga Bhatara Kala tidak boleh memakan ayah
ibunya, karena sudah lewat waktu. Kemudian Bhatara Kala meninggalkan Bhatara
Siwa dan terus mengejar Bhatara Rare Kumara. Dalam pengejaran itu segala
sesuatu yang melindungi Bhatara Rare Kumara dalam pelariannya terus dikutuk
oleh Bhatara Kala, seperti sejak itu pohon kelapa tidak lurus: tidak boleh menumpuk
kayu api dan ilalang pada waktu masih basah terikat dengan talinya, pada waktu
itu menanak nasi didapur, harus menutup lubang dapur yang ketiga atau yang
keempat, tidak boleh menggeletakkan dandang dan sebagainya. Dalam pengejaran
itu, Bhatara Rare Kumara selalu dapat meloloskan diri. Akhirnya pada suatu
ketika bhatara Kala tiba juga disana dalam keadaan terengah-engah serta didera
oleh kehausan dan kelaparan. Kebetulan diasagan (tempat banten) diatas Sang
Amangku Dalam ngwayang itu, ada berbagai jenis banten (upakara), yang langsung
dimakan oleh Bhatara Kala. Prilaku Bhatara Kala itu dilihat oleh para penabuh
gender dan melaporkan kepada Sang Amangku Dalang. Kemudian terjadilah dialog
antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar semua upakara
(banten) yang telah dimakan oleh Bhatara Kala, dikembalikan. Tetapi Bhatara
Kala tidak dapat memenuhi permintaan Sang Amangku Dalang itu, karena semua
banten yang telah habis masuk keperutnya yang sangat lapar dan kehausan dalam
usaha mengejar Bhatara Rare Kumara. Sebagai gantianya Bhatara Kala memberikan
Waranugraha kepada Sang Amangku Dalang, untuk melaksanakan dan melakukan; “Pengelukatan”
mempergelarkan wayang ”Sapu Leger”, bagi semua orang yang lahir pada waktu
Tumpek Wayang, orang tuanya selalu berusaha untuk dapat menanggap Wayang Sapu
Leger. Dan kalau ada wanita yang sedang hamil dilingkungannya, pada hari Tumpek
Wayang, selalu diusahakan untuk dapat “Melukat”, pada Ida Pedanda dan Sang
Amangku Dalang agar kandungan itu terbebas dari gangguan Bhatara Kala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar