TUGAS
ACARA AGAMA HINDU
PROSESI DAN TAHAPAN DIKSA
Dosen Pengampu
I Ketut Sumardana, S.Pd.H.
OLEH :
Gede
Ari Krisna Putra
10.1.1.1.1 3874
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
PENDAHULUAN
Upacara Madiksa bertujuan meningkatkan kesucian diri
secara lahir batin dari seorang Welaka (orang biasa) menjadi orang suci (Pendeta/Sulinggih),
upacara Madiksa termasuk dalam upacara Rsi Yadnya, sementara Rsi
Yadnya sendiri mempunyai pengertian upacara pengorbanan suci, sebagai
perwujudan ungkapan rasa terima kasih kepada para guru atau Maha Resi
yang telah mengajarkan ilmu agama, pengetahuan suci maupun yang memimpin
upacara.
Diksa disini
merupakan salah satu unsur keimanan dalam agama Hindu disamping Tata dan
Yadnya. Perihal diksa dalam kitab Yayur Weda XX.25 ada disebutkan sebagai
berikut :
“Dengan melakukan brata sesorang memperoleh Diksa.
Dengan melakukan Diksa seseorang memperoleh Daksina
Dengan Daksina seseorang memperoleh Sraddha
Dan dengan Sraddha seseorang memperoleh Satya”.
Diksa bukanlah sekedar merupakan upacara perubahan
status belaka dari Walaka menjadi Sulinggih, melainkan dalam proses upacara
tersebut terkandung makna yang mendalam mengenai hubungan bhatin antara Guru
(Nabe) dengan Sisyanya (calon Diksita). Hal ini terlihat terutama pada saat
menerima ajaran suci Weda dan untuk kemudian menjalankan tugasnya nanti sebagai
Guruloka dan Ngalokapalasraya di masyarakat pada umumnya.
Madiksa bisa disebut juga Madwijati. Seseorang
yang sudah menjadi Pendeta/Sulinggih harus melaksanakan amalannya sehingga
kesucian nya benar benar meningkat, juga harus selalu melaksanakan
kewajibannya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Rohaniwan atau Pendeta/Sulinggih tergolong dwijati,
yang dalam istilah bahasa Indonesianya di sebut pendeta, kata dwijati berasal
dari bahasa sangsekerta, dwi artinya 2 dan jati berasal dari berakar kata ja
yang artinya lahir. Lahir pertama dari kandungan ibu dan kelahiran kedua dari kaki
Sang Guru suci yang disebut Nabe, jadi Upacara Madiksa ini bermakna seseorang
yang dilahirkan kembali untuk di jadikan pemimpin suci bagi umat Hindu di Bali,
Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali
mengenal empat tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Adapun Catur
Asrama itu terdiri dari :
- Brahmacari, masa untuk menuntut ilmu.
- Grahasata, masa untuk hidup berumah tangga.
- Wanaprasta, masa untuk mempelajari ajaran agama secara intensif.
- Bhisuka Asrama, masa untuk melepaskannya hidupan duniawi.
Pada tahapan
Bhisuka Asmara ini, kewajibannya adalah melayani kepentingan umat secara
ritual maupun moral. Menciptakan ketentraman batin untuk menuju kedamaian.
PEMBAHASAN
Pengertian Diksa
Kata
diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan
menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita
yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya
lebih lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri
untuk mencapai tingkatan dwijati. Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan
sebagai berikut :
DIVYAM
JNANAM YATO DADYAT KURYAT PAPASYA SANKSAYAM TASMAT DIKSETI SA PROKTA DESIKAIS
TATVA-KOVIDAIH
Artinya
: diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya,
dan menghancurkan semua reaksi yang
disebabkan oleh kegiatan yang berdosa.
Kata dwijati
(Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya
lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir
yang kedua adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe.
Tujuan Madiksa
Upacara
madiksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai
kesempurnaan dumadi menjadi manusia. Madiksa adalah suatu klimaks dalam
meningkatkan kesucian diri dari tingkatan ekajati ke dwijati.
Calon
Sulinggih (diksita),
tahapan menuju kebrahmanan
Apabila seorang walaka
ingin meningkatkan dirinya menjadi sulinggih atau melakukan penyucian diri,
maka dia seharusnya menyadari dirinya sudah mulai memasuki tahapan menuju ke
alam kebrahmanan. Seperti diuraikan dalam sloka bahwa seorang brahmana adalah makhluk
yang paling tinggi dihadapan sang pencipta (tuhan). Sedangkan keinginan menjadi
brahmana adaalh suatu hal yang sangat luhur, asal diusahakan dengan cara yang
benar.
Menjadi brahmana tidak
bisa dicapai dengan cara mengubah nama, meminta pengakuan orang lain,
mengaku-ngaku diri sebagai seorang brahmana, dengan penampilan pakaian
seolah-olah orang suci yaitu dengan cara senantiasa berpakaian putih-putih,
menggelung rambut atau mencukurnya sama sekali, atau dengan hanya berteori
tentang weda dan kebenaran. Tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati hakikat dan
kebenaran yang sesungguhnya, maka itu sesungguhnya bukan seorang brahmana.
Sesungguhnya untuk
menjadi seorang brahmana adalah sangat sulit, karena memiliki syarat-syarat
yang sangat banyak antara lain : harus mentaati hukum-hukum brahman (tuhan).
Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seorang dengan kesadaran dan kedisiplinan
yang tinggi ada pada dirinya, maka kebrahmanan itu baru bisa tercapai. Untuk
itulah calon diksita (calon sulinggih), ataupun seorang pinandita, jro mangku
atau jro gede harus memiliki beberapa persyaratan yang harus ditaati, karena
mereka telah memasuki tahapan menuju kebrahmanan.
Jadi seorang
calon diksita harus memiliki prilaku dan persyaratan seperti :
a. Bersifat
sosial
b. Bijaksana
c. Setia
pada ucapan (satya wacana)
d. Memiliki
kesusilaan (orang mulia) bermoral dan saleh
e. Teguh
pendirian
f. Setia
adan bakti pada suami atau istri
g. Teguh
pada dharma tanpa noda
h. Keturunan
orang baik-baik
i.
Pandai dalam ilmu
j.
Berjiwa besar
k. Tegas
dalam hal siasat
l.
Kuat menahan suka dan
duka
m. Setia,
hormat terhadap catur guru
n. Suka
melaksanakan ajaran dharma, termasuk taat kepada segala sesana atau winaya dan
taat pada segala kewajiban yang menjadi tugasnya.
o. Teguh
melakukan tapa.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa
calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata
susila agama hindu.
Adapun
syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia
yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga
yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Laki-laki
yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
b. Wanita
yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
c. Pasangan
suami istri
d. Umur
minimal 40 tahun
e. Paham
dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman
intisari ajaran-ajaran agama.
f. Sehat
lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
g. Berkelakuan
baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
h. Mendapat
tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
i.
Sebaiknya tidak terikat
akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal
keagamaan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk
mediksa calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata
susila agama hindu.
Adapun
syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia
yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga
yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Laki-laki
yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
b. Wanita
yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
c. Pasangan
suami istri
d. Umur
minimal 40 tahun
e. Paham
dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman
intisari ajaran-ajaran agama.
f. Sehat
lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
g. Berkelakuan
baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
h. Mendapat
tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
i.
Sebaiknya tidak terikat
akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal
keagamaan.
Ketentuan-ketentuan
di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.
Di bawah ini
akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa
pustaka suci, antara lain:
Di Bhagawadgita Percakapan Ke IV-19
Disebutkan:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMA
SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH PANDITAM BUDHAH
Artinya: Yang
bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan
orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Pandita
berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi
meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga
seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala.
Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan
kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di
Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA
SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
Artinya: maka yang
patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut
dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur,
setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian
diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Kemudian di Svetavatara Upanisad
(6.23) menyebutkan :
YASYA DEVE PARA BHAKTIR YATHA DEVE
TATA GURAU
TASYATE
KATHITA HY ARTHAH PRAKASANTE MAAT MANAH
Artinya : hanya
kepada roh yang mulya (berjiwa besar) yang percaya penuh kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan guru kerohanian segala arti pengetahuan Veda diperlihatkan dengan
sendirinya. Keyakinan kepada Tuhan dan Guru kerohanian merupakan subjek pokok
yang sangat penting. Tuhan memberikan ajaran lewat sadbaNya dan Guru kerohanian
memberikan tuntunan kepada para bhaktanya untuk dapat melaksanakan tugas
kewajiban yang telah ditetapkan (dharma) olehNya- dharman to saksat bhagavat
pranitam.
Orang Yang Tidak Patut
Didiksa
Dalam
lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak patut didiksa oleh
sang guru (Guru Nabe) adalah :
a. Orang-orang
kotor, orang yang wangsenya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, dan orang
yang sangat menderita.
b. Cuntaka
Janma, artinya orang hina seperti orang yang dijadikan sesaji, orang yang
diserahkan pada waktu upacara siwa Wadhana, Asti Wadhana, pencuci mayat, orang
pemakan darah, penadah barang kotor, orang yang dihukum penjara.
c. Patita
walaka yaitu menyembah orang hina, memakan-makanannya, orang yang menyembah
kepada orang yang cuntaka.
d. Sadigawe
berarti turut dengan adah kriya yang berarti segala yang sudra, candala,
mlecha. Sudra berarti orang tanija karma dan wulu-wulu. Banija karma berarti
berdagang (segala yang menjual belikan dagangannya yang tidak baik)
e. Chandala
berarti menjagal, melempar, mencungkil
dan memukul.
f. Manusia
kuci angga berarti orang cacat tubuhnya seperti orang bungkuk, kerdil, bule dan
belang.
g. Maha
duhka berarti orang yang menderita tubuhnya karena sangsara seperti orang
kusta, gila, buta, ayan, tuli, kejang, dan timpang. Sebab tidak akan mendapat
pahala, bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya.
Prosedur Administrasi
Untuk Melakukan Diksa
Disamping
syarat-syarat seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon, maka
ada beberapa persyaratan yang harus juga dilakukan oleh calon diksita yaitu
tentang persyaratan adminstrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi
Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun
prosedur persyaratan administrasi adalah :
a. Calon
diksita harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisadha
Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga
bulan sebelum hari pediksaan.
b. Permohonan
tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : badan sehat,
berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak
tersangkut perkara.
c. Permohonan
ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d. Parisada
setempat menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing
bersama calon Nabe (diksa pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e. Penyelidikan
dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian
apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau
pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada
pemerintah setempat.
f. Parisada
yang akan memberi keputusan memberikan pernyataan sikapnya (mengabulkan atau
tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan, dengan tembusan ke
Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
g. Pemohon
yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang
tiga bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
h. Seorang
Pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah
mendapat izin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi izin
diksa.
i.
Parisada wajib
menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.
Rangkaian Upacara
Pediksan (Upacara Medwijati)
Adapun
rangkaian upacara pediksan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Upacara
Awal
a. Upacara
mejauman
Upacara ini didahului
dengan sang Calon Diksita (suami-istri) berkunjung kerumah calon Nabe dengan
membawa upakara-upakara betapa mestinya.
b. Sembah
pamitan pada keluarga
Sang calon diksita
menyembah orang tua yang masih hidup, paman atau bibi yang patut disembah,
mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah Upacara Diksa.calon
Diksita juga minta ijin dan restunya pada sanak saudaranya yang umurnya lebih
muda. Sembah pamitan terhadap orang tua, merupakan sembah terakhir, karena
kemudian sang sulinggih tidak boleh menyembah siapapun yang masih Walaka.
c. Upacara
mapinton
Pertama, upacara
mapinton dilakukan kesegara-gunung untuk membersihkan diri atau asuci laksana,
dalam hal ini sekurang-kurangnya ke Kahyangan Tiga.
Kedua, upacara mapinton
ke Pemerajan Calon Nabe yang langsung dipuput oleh sulinggih Calon Nabe
sendiri. Disamping untuk memohon restunya, upacara ini juga mengandung makna
sebagai perkenalan dan pernyataan secara resmi antara Calon Diksa dengan Guru
Nabe.
2.
Upacara
Puncak
a. Upacara
amati raga atau penyekeban
Sebelum amati raga,
Calon Diksita dilukat oleh Nabe di merajannya Calon Diksita, dilanjutkan dengan
muspa. Selesai upacara itu barulah Calon Diksita melakukan Amati Raga yaitu
melakukan Yoga, memakai busana serba putih, sikap tangan ngeresep dan ngeranasika, monabrata serta upawasa,
upacara ini berlangsung sehari penuh yaitu sehari sebelum upacara Diksa.
b. Upacara
mandi/masiram
Upacara ini dilaksanakan
pada dini hari sekitar pukul 05.00 pagi. Upacara ini dilakukan oleh Guru saksi.
Calon Diksita yang laki dimandikan oleh guru saksi laki-laki, calon Diksita
perempuan oleh Guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak keluarga calon Diksita
sendiri. Selesai mandi calon Diksita berpakaian serba putih (sarwa petak). Lalu
diusung ke Pemerajan tempat Calon Diksita melakukan Upacara Diksa.
3. Upacara
Pokok
Dalam
upacara pokok ini sudah disiapkan segala sarana prasarana upacara Pendiksan
yang akan di puput oleh Guru Nabe. Adapun rangkaian upacara tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Sulinggih
Guru Nabe memuja atau Ngarga.
2. Calon
Diksita ada dihadapan sanggar untuk melakukan Upacara mabyakawon, kemudian
dilanjutkan dengan muspa yang dituntun oleh Nabe.
3. Calon
Diksita menghadap pada Sang Guru Nabe untuk melakukan upacara matepung tawar
(Atepung tawar), segawu.
4. Calon
Diksita memberishkan kaki kanan (wasehijeng ring tengen) Nabe, digosok dengan
kain putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak (lisahi dening minyak),
kaki tersebut ditaruh diatas ubun-ubun.
5. Selanjutnya
menjilat (ngisep) ibu jari kaki kanan Nabe (rasista ndilat mpuning pada tengen)
6. Anuhun
pada : guru nabe napak calon Diksita
7. Di
atas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
8. Sambutang
kusa pengaras, yaitu diambilkan daun alang-alang, diusapi badannya dan
dikelilingi tiga kali (inderakna ring sasiranya ping tiga), dijilat dengan
lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung
tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang-alang ditaruh.
9. Pung-punguning
ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu
upacara sesajen untuk ubun-ubun
10. Diambilkan
Pancakusika (alang-alang), cincin kalpika dan gunting yang dipercikan tirta
11. Megunting
: rambut calon Diksita digunting lima kali, yang diawali dengan rambut bagian
depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengen), rambut bagian belakang
(ring wuri), rambut samping kiri (ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring
usehan).
12. Ngalap
atmanya : jiwanya sisya diambil
13. Dahdhi
damalaning sasiranya : tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib)
14. Api
pembakar dihentikan (padhemi)
15. Mretha
karanani : sisya matirtha, sanghyang atma diturunkan kembali.
16. Guru
nabe : kkarosodohanani yaitu mengadakan pemujaan, setelah itu sisya pakaduti
sekar (disuntingkan bunga didada)
17. Wehana
cacatu : wawisik dari guru Nabe, dawutang prastawa : cincin sisya diambil Nabe,
Tutulaka tunjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga ditunjung tiga
kali pada ubun-ubun sisya.
18. Pada
padhayadi : guru Nabe memberikan basma sirowista, dipercikan air suci,
Siwambhwa, anecepi, maraup, tiga kali.
19. Nuhun
sekah : sisya menjunjung sekah Dewa-Dewi disertai peras dan sesarik.
20. Tatebus
: sisya matetebus
21. Guru
Nabe nyiratang tirta pada bebanten sesayut , dharma pemulih, pengambeyan,
sekarstaman, sorohan, penyeneng,
jerimpen, bebangkit.
22. Angayab
sesayut : sang sisya ngayab atau nganteb sesayut
23. Masirat : sang sisya mendekat pada Nabe Matirtha
(matoya)
24. Majaya-jaya
: sang sisya majaya-jaya oleh Guru Nabe dengan Prana Bayu Murti Bwana
25. Tatabi
dupa dipa, sisya ngayab atau natab dupa.
26. Minum
air suci : siwambha (sang sisya)
27. Amet
tetebus : diberikan tatebus sang sisya, dicium tiga kali kemudian ditaruh di
hulu hati (ring Hrdaya)
28. Wehi
wija: sisya diberi bija dimohon
(enguntal) ini berarti pawisik sasimpenan.
29. Wehi
sekar : sisya dikasi sekar (bunga)
30. Malabha
padhamel : sisya mapadamel
31. Manyembah
: terakhir sisya menyembah mapamit pada kaki Guru Nabe (raris tamwita anikel ri
pada nira dhang guru panembahe).
Penyelenggaraan Mediksa
Adapun
jenis upakara yang digunakan untuk upacara mediksa adalah sebagai berikut ini :
1. Ngadegang
sanggar surya-sewana, munggah banten :
-
Catur –rebah
mentah-rateng asoroh
-
Dhaksina-ageng sawra
–pat asiki
-
Pras-ageng kalih danan
-
Suci-laksana patang
soroh
-
Dewa-dewi
-
Siwabawu
-
Pucukbawu
-
Siwagotra-siwagotri
-
Rayunan-prangkat
putih-kuning kalih prangkat
-
Prayascita-luwih
-
Sasayut atma-rawuh
-
Sasayut sambut-urip
-
Sasayut pabersihan
-
Canang-pangeresikan
satangkep
-
Rantasan kalih pradeg
putih-kuning lanang-wadon
-
Suci-ageng pangaturan
asoroh
-
Rayunan-prani apajeg
-
Awar-awar pisang-leger,
uduh, peji, ancak, bingin, andong dan kayu-sugih
2. Upakara
ring sor ring harepan surya
-
Bale pagenian
-
Suci asoroh
-
Dhaksina-ageng
sarwa-pat asiki
-
Pras
-
Ajuman saha dandanania
-
Gelar-sanga
-
Segehan-agung
-
Tatabuhan arak-berem
3. Ngadegang
sanggar paguru-kraman maring utara marep
-
Dhaksina alit asiki
-
Wastra tigasan putih
-
Suci laksana asoroh
-
Pras
-
Ajuman
-
Rayunan prangkat asiki
4. Upacara
ring harepan sang adhiguru mapuja
-
Dhaksina-sarad isinia
sarwa-kutus asiki
-
Suci-laksana kakalih
saha dandanania
-
Pras-ageng kakalih
-
Ajuman kakalih
-
Jinah sasantun
5. Upakara
ring harepan Guru Saksi :
-
Pateh kadi harepan Sang
Adiguru, binania kewala tan milu anapak Sang Diniksan.
6. Upakara
pangaskaran, magenah ring harepan Sang Adiguru mapuja :
-
Sopakaraning
padudusan-alit
-
Dhaksina-ageng
sarwa-pat asiki
-
Suci-ageng asoroh saha
eedania
-
Pangguruyagan pada niri
asiki sang diniksan
-
Pisang jati pada masiki
-
Sekah-suhun
-
Pajajiwan
-
Pungu-pungu
-
Pangerobodan
-
Pras-pancawara
-
Ketipat-prastala pada
wijinan
-
Lalang
welmingmang-paguntingan pada wijinan
-
Tetebasan masayut
-
Cucukan itik putih
asiki
-
Cucukan ayam sudhamala
asiki
-
Prayascita-lwih asiki
-
Penyeneng tahenan asiki
-
Isuh-isuh
-
Tepung-tawar
-
Segawu
-
Lisdegdeg aprangkat
-
Padudusan (kadi
pralagi)
-
Pasasayutan asoroh
(sakramaning sasayut Sang Sadhaka maka panginderan jangkep)
-
Catur-sari
7. Upakara
mapinton (katur ring Sang Adiguru)
-
Klasa anyar
-
Tilam
-
Wastra sapradeg
-
Tedung
-
Rayunan matah (kadi
pras-atos panuwuran)
-
Sedah pucangan
sanggraha
-
Banten pengelukatan
mwah malaku tirtha-panglukatan pamintonan (pajati)
-
Banten pengelemekan
asoroh
-
Dhaksina
-
Pras
-
Ajuman
-
Katipat-bantal
-
Sasanganan-kukus
barak-putih-selem
-
Pras-dhaksina-ajuman
asoroh (pangajum tirtha pengelukatan)
8. Upakara
amati raga (ring paturuan)
-
Tumpeng putih, kuning
barak, selem pada madanan, iwak ayam pinanggang anut warnaning tumpeng
-
Pras
-
Sodan
-
Suci asoroh
-
Dhaksina-ageng
sarwa-pat asiki
-
Panyeneng
-
Segehan anyatur-warna
-
Tatabuhan tuak, arak,
berem, yeh
9. Upakara
pajati (katur ring Kawitan sakabwatan manut kawentenania)
10. Upakara
pakideh ring genah upakara manut kadi pralagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Purwita, Drs.IB.Putu.1993.Upacara
Mediksa.Denpasar : Upada Sastra.
Sastra, Drs.Gde Sara.2005.Pedoman
Calon Pandita Dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sasana). Surabaya :
Paramita.
Agastia, I.B.G,dkk.2001.Eksistensi
Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar : PT Pustaka Manikgeni.
Anandakusuma, sri reshi.1994.Aum
Uoacara Reshi Yadnya. Surabaya: CV.Kayumas Agung.
Wikarman,Drs. I Nyoman singgih.1993.Sarira
Samskara. Bangli : Yayasan Widya Shanti.
Widyantara, Ir.Wayan.2010.Diksa
Inisiasi Rohani Membangun Peradaban Kebrahmanan.Denpasar: Pustaka Bali
Post.
Telaga, Ida Pedanda Putra.1995.Panca
Yadnya. Denpasar:Pemerintah Daerah.
www.geogle.com.Upacara
Madiksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar