Selasa, 28 Januari 2014

TUGAS ACARA AGAMA HINDU PROSESI DAN TAHAPAN DIKSA



TUGAS ACARA AGAMA HINDU
PROSESI DAN TAHAPAN DIKSA
Dosen Pengampu
I Ketut Sumardana, S.Pd.H.






OLEH :
                Gede Ari Krisna Putra
10.1.1.1.1 3874


INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU



PENDAHULUAN

Upacara Madiksa bertujuan meningkatkan kesucian diri secara lahir batin dari seorang Welaka (orang biasa) menjadi orang suci (Pendeta/Sulinggih), upacara Madiksa termasuk dalam upacara Rsi Yadnya, sementara Rsi Yadnya sendiri mempunyai pengertian upacara pengorbanan suci, sebagai perwujudan ungkapan rasa terima kasih kepada para guru atau Maha Resi yang telah mengajarkan ilmu agama, pengetahuan suci maupun yang memimpin upacara.
Diksa disini merupakan salah satu unsur keimanan dalam agama Hindu disamping Tata dan Yadnya. Perihal diksa dalam kitab Yayur Weda XX.25 ada disebutkan sebagai berikut :
“Dengan melakukan brata sesorang memperoleh Diksa.
Dengan melakukan Diksa seseorang memperoleh Daksina
Dengan Daksina seseorang memperoleh Sraddha
Dan dengan Sraddha seseorang memperoleh Satya”.
Diksa bukanlah sekedar merupakan upacara perubahan status belaka dari Walaka menjadi Sulinggih, melainkan dalam proses upacara tersebut terkandung makna yang mendalam mengenai hubungan bhatin antara Guru (Nabe) dengan Sisyanya (calon Diksita). Hal ini terlihat terutama pada saat menerima ajaran suci Weda dan untuk kemudian menjalankan tugasnya nanti sebagai Guruloka dan Ngalokapalasraya di masyarakat pada umumnya.
Madiksa bisa disebut juga Madwijati. Seseorang yang sudah menjadi Pendeta/Sulinggih harus melaksanakan amalannya sehingga kesucian nya benar benar meningkat, juga harus selalu melaksanakan kewajibannya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Rohaniwan atau Pendeta/Sulinggih tergolong dwijati, yang dalam istilah bahasa Indonesianya di sebut pendeta, kata dwijati berasal dari bahasa sangsekerta, dwi artinya 2 dan jati berasal dari berakar kata ja yang artinya lahir. Lahir pertama dari kandungan ibu dan kelahiran kedua dari kaki Sang Guru suci yang disebut Nabe, jadi Upacara Madiksa ini bermakna seseorang yang dilahirkan kembali untuk di jadikan pemimpin suci bagi umat Hindu di Bali,
Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali mengenal empat tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Adapun Catur Asrama itu terdiri dari :
  1. Brahmacari, masa untuk menuntut ilmu.
  2. Grahasata, masa untuk hidup berumah tangga.
  3. Wanaprasta, masa untuk mempelajari ajaran agama secara intensif.
  4. Bhisuka Asrama, masa untuk melepaskannya hidupan duniawi.
Pada tahapan Bhisuka Asmara ini, kewajibannya adalah melayani kepentingan umat secara ritual maupun moral. Menciptakan ketentraman batin untuk menuju kedamaian.










PEMBAHASAN

Pengertian Diksa
Kata diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati. Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan sebagai berikut :
DIVYAM JNANAM YATO DADYAT KURYAT PAPASYA SANKSAYAM TASMAT DIKSETI SA PROKTA DESIKAIS TATVA-KOVIDAIH
Artinya : diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi  yang disebabkan oleh kegiatan  yang berdosa.
Kata dwijati (Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe.

Tujuan Madiksa
Upacara madiksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan dumadi menjadi manusia. Madiksa adalah suatu klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan ekajati ke dwijati.

Calon Sulinggih (diksita), tahapan menuju kebrahmanan
Apabila seorang walaka ingin meningkatkan dirinya menjadi sulinggih atau melakukan penyucian diri, maka dia seharusnya menyadari dirinya sudah mulai memasuki tahapan menuju ke alam kebrahmanan. Seperti diuraikan dalam sloka bahwa seorang brahmana adalah makhluk yang paling tinggi dihadapan sang pencipta (tuhan). Sedangkan keinginan menjadi brahmana adaalh suatu hal yang sangat luhur, asal diusahakan dengan cara yang benar.
Menjadi brahmana tidak bisa dicapai dengan cara mengubah nama, meminta pengakuan orang lain, mengaku-ngaku diri sebagai seorang brahmana, dengan penampilan pakaian seolah-olah orang suci yaitu dengan cara senantiasa berpakaian putih-putih, menggelung rambut atau mencukurnya sama sekali, atau dengan hanya berteori tentang weda dan kebenaran. Tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati hakikat dan kebenaran yang sesungguhnya, maka itu sesungguhnya bukan seorang brahmana.
Sesungguhnya untuk menjadi seorang brahmana adalah sangat sulit, karena memiliki syarat-syarat yang sangat banyak antara lain : harus mentaati hukum-hukum brahman (tuhan). Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seorang dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi ada pada dirinya, maka kebrahmanan itu baru bisa tercapai. Untuk itulah calon diksita (calon sulinggih), ataupun seorang pinandita, jro mangku atau jro gede harus memiliki beberapa persyaratan yang harus ditaati, karena mereka telah memasuki tahapan menuju kebrahmanan.
Jadi seorang calon diksita harus memiliki prilaku dan persyaratan seperti :
a.       Bersifat sosial
b.      Bijaksana
c.       Setia pada ucapan (satya wacana)
d.      Memiliki kesusilaan (orang mulia) bermoral dan saleh
e.       Teguh pendirian
f.       Setia adan bakti pada suami atau istri
g.      Teguh pada dharma tanpa noda
h.      Keturunan orang baik-baik
i.        Pandai dalam ilmu
j.        Berjiwa besar
k.      Tegas dalam hal siasat
l.        Kuat menahan suka dan duka
m.    Setia, hormat terhadap catur guru
n.      Suka melaksanakan ajaran dharma, termasuk taat kepada segala sesana atau winaya dan taat pada segala kewajiban yang menjadi tugasnya.
o.      Teguh melakukan tapa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan  yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila agama hindu.
Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
b.      Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
c.       Pasangan suami istri
d.      Umur minimal 40 tahun
e.       Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
f.       Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
g.      Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
h.      Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
i.        Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan  yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila agama hindu.
Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
b.      Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
c.       Pasangan suami istri
d.      Umur minimal 40 tahun
e.       Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum, pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
f.       Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
g.      Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
h.      Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
i.        Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.
Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain:
 Di Bhagawadgita Percakapan Ke IV-19 Disebutkan:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMA SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH PANDITAM BUDHAH
Artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
Artinya: maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Kemudian di Svetavatara Upanisad (6.23) menyebutkan :
YASYA DEVE PARA BHAKTIR YATHA DEVE TATA GURAU
TASYATE KATHITA HY ARTHAH PRAKASANTE MAAT MANAH
Artinya : hanya kepada roh yang mulya (berjiwa besar) yang percaya penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa dan guru kerohanian segala arti pengetahuan Veda diperlihatkan dengan sendirinya. Keyakinan kepada Tuhan dan Guru kerohanian merupakan subjek pokok yang sangat penting. Tuhan memberikan ajaran lewat sadbaNya dan Guru kerohanian memberikan tuntunan kepada para bhaktanya untuk dapat melaksanakan tugas kewajiban yang telah ditetapkan (dharma) olehNya- dharman to saksat bhagavat pranitam.

Orang Yang Tidak Patut Didiksa
Dalam lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak patut didiksa oleh sang guru (Guru Nabe) adalah :
a.       Orang-orang kotor, orang yang wangsenya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, dan orang yang sangat menderita.
b.      Cuntaka Janma, artinya orang hina seperti orang yang dijadikan sesaji, orang yang diserahkan pada waktu upacara siwa Wadhana, Asti Wadhana, pencuci mayat, orang pemakan darah, penadah barang kotor, orang yang dihukum penjara.
c.       Patita walaka yaitu menyembah orang hina, memakan-makanannya, orang yang menyembah kepada orang yang cuntaka.
d.      Sadigawe berarti turut dengan adah kriya yang berarti segala yang sudra, candala, mlecha. Sudra berarti orang tanija karma dan wulu-wulu. Banija karma berarti berdagang (segala yang menjual belikan dagangannya yang tidak baik)
e.       Chandala berarti menjagal, melempar, mencungkil  dan memukul.
f.       Manusia kuci angga berarti orang cacat tubuhnya seperti orang bungkuk, kerdil, bule dan belang.
g.      Maha duhka berarti orang yang menderita tubuhnya karena sangsara seperti orang kusta, gila, buta, ayan, tuli, kejang, dan timpang. Sebab tidak akan mendapat pahala, bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya.

Prosedur Administrasi Untuk Melakukan Diksa
Disamping syarat-syarat seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon, maka ada beberapa persyaratan yang harus juga dilakukan oleh calon diksita yaitu tentang persyaratan adminstrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi adalah :
a.       Calon diksita harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan.
b.      Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : badan sehat, berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut perkara.
c.       Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d.      Parisada setempat menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon Nabe (diksa pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e.       Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
f.       Parisada yang akan memberi keputusan memberikan pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan, dengan tembusan ke Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
g.      Pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang tiga bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
h.      Seorang Pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah mendapat izin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi izin diksa.
i.        Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.

Rangkaian Upacara Pediksan (Upacara Medwijati)
Adapun rangkaian upacara pediksan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Upacara Awal
a.       Upacara mejauman
Upacara ini didahului dengan sang Calon Diksita (suami-istri) berkunjung kerumah calon Nabe dengan membawa upakara-upakara betapa mestinya.
b.      Sembah pamitan pada keluarga
Sang calon diksita menyembah orang tua yang masih hidup, paman atau bibi yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah Upacara Diksa.calon Diksita juga minta ijin dan restunya pada sanak saudaranya yang umurnya lebih muda. Sembah pamitan terhadap orang tua, merupakan sembah terakhir, karena kemudian sang sulinggih tidak boleh menyembah siapapun yang masih Walaka.
c.       Upacara mapinton
Pertama, upacara mapinton dilakukan kesegara-gunung untuk membersihkan diri atau asuci laksana, dalam hal ini sekurang-kurangnya ke Kahyangan Tiga.
Kedua, upacara mapinton ke Pemerajan Calon Nabe yang langsung dipuput oleh sulinggih Calon Nabe sendiri. Disamping untuk memohon restunya, upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan secara resmi antara Calon Diksa dengan Guru Nabe.
2.      Upacara Puncak
a.       Upacara amati raga atau penyekeban
Sebelum amati raga, Calon Diksita dilukat oleh Nabe di merajannya Calon Diksita, dilanjutkan dengan muspa. Selesai upacara itu barulah Calon Diksita melakukan Amati Raga yaitu melakukan Yoga, memakai busana serba putih, sikap tangan ngeresep  dan ngeranasika, monabrata serta upawasa, upacara ini berlangsung sehari penuh yaitu sehari sebelum upacara Diksa.
b.      Upacara mandi/masiram
Upacara ini dilaksanakan pada dini hari sekitar pukul 05.00 pagi. Upacara ini dilakukan oleh Guru saksi. Calon Diksita yang laki dimandikan oleh guru saksi laki-laki, calon Diksita perempuan oleh Guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak keluarga calon Diksita sendiri. Selesai mandi calon Diksita berpakaian serba putih (sarwa petak). Lalu diusung ke Pemerajan tempat Calon Diksita melakukan Upacara Diksa.


3.      Upacara Pokok
Dalam upacara pokok ini sudah disiapkan segala sarana prasarana upacara Pendiksan yang akan di puput oleh Guru Nabe. Adapun rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Sulinggih Guru Nabe memuja atau Ngarga.
2.      Calon Diksita ada dihadapan sanggar untuk melakukan Upacara mabyakawon, kemudian dilanjutkan dengan muspa yang dituntun oleh Nabe.
3.      Calon Diksita menghadap pada Sang Guru Nabe untuk melakukan upacara matepung tawar (Atepung tawar), segawu.
4.      Calon Diksita memberishkan kaki kanan (wasehijeng ring tengen) Nabe, digosok dengan kain putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak (lisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh diatas ubun-ubun.
5.      Selanjutnya menjilat (ngisep) ibu jari kaki kanan Nabe (rasista ndilat mpuning pada tengen)
6.      Anuhun pada : guru nabe napak calon Diksita
7.      Di atas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
8.      Sambutang kusa pengaras, yaitu diambilkan daun alang-alang, diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (inderakna ring sasiranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang-alang ditaruh.
9.      Pung-punguning ring wuwunan ping tiga :  yaitu suatu upacara sesajen untuk ubun-ubun
10.  Diambilkan Pancakusika (alang-alang), cincin kalpika dan gunting yang dipercikan tirta
11.  Megunting : rambut calon Diksita digunting lima kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengen), rambut bagian belakang (ring wuri), rambut samping kiri (ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring usehan).
12.  Ngalap atmanya : jiwanya sisya diambil
13.  Dahdhi damalaning sasiranya : tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib)
14.  Api pembakar dihentikan (padhemi)
15.  Mretha karanani : sisya matirtha, sanghyang atma diturunkan kembali.
16.  Guru nabe : kkarosodohanani yaitu mengadakan pemujaan, setelah itu sisya pakaduti sekar  (disuntingkan bunga didada)
17.  Wehana cacatu : wawisik dari guru Nabe, dawutang prastawa : cincin sisya diambil Nabe, Tutulaka tunjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga ditunjung tiga kali pada ubun-ubun sisya.
18.  Pada padhayadi : guru Nabe memberikan basma sirowista, dipercikan air suci, Siwambhwa, anecepi, maraup, tiga kali.
19.  Nuhun sekah : sisya menjunjung sekah Dewa-Dewi disertai peras dan sesarik.
20.  Tatebus : sisya matetebus
21.  Guru Nabe nyiratang tirta pada bebanten sesayut , dharma pemulih, pengambeyan, sekarstaman,  sorohan, penyeneng, jerimpen, bebangkit.
22.  Angayab sesayut : sang sisya ngayab atau nganteb sesayut
23.  Masirat  : sang sisya mendekat pada Nabe Matirtha (matoya)
24.  Majaya-jaya : sang sisya majaya-jaya oleh Guru Nabe dengan Prana Bayu Murti Bwana
25.  Tatabi dupa dipa, sisya ngayab atau natab dupa.
26.  Minum air suci : siwambha (sang sisya)
27.  Amet tetebus : diberikan tatebus sang sisya, dicium tiga kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring Hrdaya)
28.  Wehi wija:  sisya diberi bija dimohon (enguntal) ini berarti pawisik sasimpenan.
29.  Wehi sekar : sisya dikasi sekar (bunga)
30.  Malabha padhamel : sisya mapadamel
31.  Manyembah : terakhir sisya menyembah mapamit pada kaki Guru Nabe (raris tamwita anikel ri pada nira dhang guru panembahe).
Penyelenggaraan Mediksa
Adapun jenis upakara yang digunakan untuk upacara mediksa adalah sebagai berikut ini :
1.      Ngadegang sanggar surya-sewana, munggah banten :
-          Catur –rebah mentah-rateng asoroh
-          Dhaksina-ageng sawra –pat asiki
-          Pras-ageng kalih danan
-          Suci-laksana patang soroh
-          Dewa-dewi
-          Siwabawu
-          Pucukbawu
-          Siwagotra-siwagotri
-          Rayunan-prangkat putih-kuning kalih prangkat
-          Prayascita-luwih
-          Sasayut atma-rawuh
-          Sasayut sambut-urip
-          Sasayut pabersihan
-          Canang-pangeresikan satangkep
-          Rantasan kalih pradeg putih-kuning lanang-wadon
-          Suci-ageng pangaturan asoroh
-          Rayunan-prani apajeg
-          Awar-awar pisang-leger, uduh, peji, ancak, bingin, andong dan kayu-sugih
2.      Upakara ring sor ring harepan surya
-          Bale pagenian
-          Suci asoroh
-          Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
-          Pras
-          Ajuman saha dandanania
-          Gelar-sanga
-          Segehan-agung
-          Tatabuhan arak-berem
3.      Ngadegang sanggar paguru-kraman maring utara marep
-          Dhaksina alit asiki
-          Wastra tigasan putih
-          Suci laksana asoroh
-          Pras
-          Ajuman
-          Rayunan prangkat asiki
4.      Upacara ring harepan sang adhiguru mapuja
-          Dhaksina-sarad isinia sarwa-kutus asiki
-          Suci-laksana kakalih saha dandanania
-          Pras-ageng kakalih
-          Ajuman kakalih
-          Jinah sasantun
5.      Upakara ring harepan Guru Saksi :
-          Pateh kadi harepan Sang Adiguru, binania kewala tan milu anapak Sang Diniksan.
6.      Upakara pangaskaran, magenah ring harepan Sang Adiguru mapuja :
-          Sopakaraning padudusan-alit
-          Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
-          Suci-ageng asoroh saha eedania
-          Pangguruyagan pada niri asiki sang diniksan
-          Pisang jati pada masiki
-          Sekah-suhun
-          Pajajiwan
-          Pungu-pungu
-          Pangerobodan
-          Pras-pancawara
-          Ketipat-prastala pada wijinan
-          Lalang welmingmang-paguntingan pada wijinan
-          Tetebasan masayut
-          Cucukan itik putih asiki
-          Cucukan ayam sudhamala asiki
-          Prayascita-lwih asiki
-          Penyeneng tahenan asiki
-          Isuh-isuh
-          Tepung-tawar
-          Segawu
-          Lisdegdeg aprangkat
-          Padudusan (kadi pralagi)
-          Pasasayutan asoroh (sakramaning sasayut Sang Sadhaka maka panginderan jangkep)
-          Catur-sari
7.      Upakara mapinton (katur ring Sang Adiguru)
-          Klasa anyar
-          Tilam
-          Wastra sapradeg
-          Tedung
-          Rayunan matah (kadi pras-atos panuwuran)
-          Sedah pucangan sanggraha
-          Banten pengelukatan mwah malaku tirtha-panglukatan pamintonan (pajati)
-          Banten pengelemekan asoroh
-          Dhaksina
-          Pras
-          Ajuman
-          Katipat-bantal
-          Sasanganan-kukus barak-putih-selem
-          Pras-dhaksina-ajuman asoroh (pangajum tirtha pengelukatan)
8.      Upakara amati raga (ring paturuan)
-          Tumpeng putih, kuning barak, selem pada madanan, iwak ayam pinanggang anut warnaning tumpeng
-          Pras
-          Sodan
-          Suci asoroh
-          Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki
-          Panyeneng
-          Segehan anyatur-warna
-          Tatabuhan tuak, arak, berem, yeh
9.      Upakara pajati (katur ring Kawitan sakabwatan manut kawentenania)
10.  Upakara pakideh ring genah upakara manut kadi pralagi.













DAFTAR PUSTAKA

Purwita, Drs.IB.Putu.1993.Upacara Mediksa.Denpasar : Upada Sastra.

Sastra, Drs.Gde Sara.2005.Pedoman Calon Pandita Dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sasana). Surabaya : Paramita.

Agastia, I.B.G,dkk.2001.Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar : PT Pustaka Manikgeni.

Anandakusuma, sri reshi.1994.Aum Uoacara Reshi Yadnya. Surabaya: CV.Kayumas Agung.

Wikarman,Drs. I Nyoman singgih.1993.Sarira Samskara. Bangli : Yayasan Widya Shanti.

Widyantara, Ir.Wayan.2010.Diksa Inisiasi Rohani Membangun Peradaban Kebrahmanan.Denpasar: Pustaka Bali Post.

Telaga, Ida Pedanda Putra.1995.Panca Yadnya. Denpasar:Pemerintah Daerah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar