MAKNA MANTRAM TRI SANDHYA
GEDE ARI KRISNA PUTRA
Abstrak
Kata
Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam
kitab Agastya Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā,
toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, … (Agastya Parwa 396). Dalam kitab
Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja mantra tri sandya sebagaimana
yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai tiga
pertemuan waktu.Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam
(berhubungan) dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda
seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara
waktu.Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam
dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan
malam.Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar
terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada
waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi
melindungi dan memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā
diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga
waktu untuk sembahyang.Berikut adalah mantram Tri Sandhya:
Bait ke-1
Om om om
Oṁ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tat savitur vareṇyaṁ
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo naḥ pracodayāt
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah
kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit
dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada
pikiran kami.
Bait ke-2 :
Oṁ nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ
yad bhūtaṁ yac ca bhavyam
niṣkalaṅko nirañjano nirvikalpo
nirākhyātaḥ śuddho devo eko
nārāyaṇaḥ
na dvitīyo ‘sti kaścit
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, semua yang ada
berasal dari Sang Hyang Widhi baik yang telah ada maupun yang akan ada, Sang
Hyang Widhi bersifat gaib tidak ternoda tidak terikat oleh perubahan, tidak
dapat diungkapkan, suci, Sang Hyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.
Bait ke-3
Oṁ tvaṁ śivaḥ tvaṁ mahādevaḥ
īśvaraḥ parameśvaraḥ
brahmā viṣṇuśca rudraśca
puruṣaḥ parikīrtitāḥ
Terjemahan
Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut
Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara
(mahakuasa).Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam
semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya),
Rudra (yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung).
Bait
ke-4 :
Oṁ pāpo
‘haṁ pāpakarmāhaṁ
pāpātmā pāpasaṁbhavaḥ
trāhi māṁ puṇḍarīkākṣaḥ
sabāhyā bhyantaraḥ ‘śuciḥ
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, hamba ini papa,
perbuatan hambapun papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang Hyang
Widhi, Sang Hyang Widhi yang bermata indah bagaikan bunga teratai, sucikan jiwa
dan raga hamba.
Bait ke-5 :
Oṁ kṣamasva maṁ mahādevaḥ
sarva prāṇi hitaṅkaraḥ
maṁ moca
sarva pāpebhyaḥ
Pālayasva sadāśiva
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah
hamba, Sang Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua
makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah hamba Om Sang hyang
Widhi.
Bait ke-6 :
Oṁ kṣantavyaḥ kāyiko doṣaḥ
kṣantavyo
vāciko mama
kṣantavyo
mānaso doṣaḥ
tat pramādāt kṣamasva mām
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa
yang dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang keluar melalui kata kata
hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
I.
PENDAHULUAN
Agama adalah kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan
tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya dengan identitas yang
berbeda-beda antara agama yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan
dan keyakinan kepada Tuhannya, setiap umat beragama ingin berhubungan dengan
Tuhannya untuk memenuhi rasa keagamaannya. Tiap-tiap agama mempunyai cara
tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak
berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak terbagi atau gaib (Niskala),
dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna)
dan seolah-olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122
disebutkan :Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep
makalaksana ng Śiwatattwa.Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira.Mangekalaksana
Śiwa-kārana juga, tan paprabheda.Aneka ngaranya kahidepan Bhattāra makalaksana
Caturdhā.Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma para-sūnya.
Artinya :
Sifat
Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia yang dibayangkan bersifat
Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja
sebagai Siwakarana tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara dibayangkan bersifat
Caturdha artinya sthula, suksma, para dan sunya.
Beliau sebagai Ia yang Eka (Esa), Beliau adalah Nirguna,
Niskala. “Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng angen-angen,
kadyangganing akasa, tan kagrhita dening manah mwang indriya” (Bhuwanakosa II,
16). Artinya :Bhatara Siwa meresapi segala, Ia yang gaib tak terpikirkan,
Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriaya.
Sedangkan Beliau sebagai Ia yang Aneka, Beliau adalah
Saguna, Sakala.“Nihan wibhaga Bhatara munggwing rikang tattwa kabeh,
Sarwājña ngaranira, yan umandel ing prthiwi, Bhāwa ngaranira yan umandel ing
toya, Pasupati ngaranira yan umandel ing Sanghyang Agni, Isāna ngaranira yan
umandel ing bayu.
Bhima
ngaranira yan heneng ākāsa, kinahanan ta sira dening Astaguna, Māhadewa
ngaranira yang haneng manah, tan pāwak, Ugra ngaranira yan haneng pañca tan
mātra, Rudra ngaranira yan haneng teja makūwak ahangkāra”
(Bhuwanakosa III, 9, 10)
Artinya
:
Inilah
perincian Bhatara berada pada semua tattwa, Sarwajña namanya bila berada di
tanah, Bhawa namanya bila berada di air, Pasupati namanya bila berada pada api,
Isana namanya bila berada pada angin.
Bhima
namanya bila berada di angkasa, dipenuhi Ia oleh Astaguna, Mahadewa namanya
bila berada pada pikiran, Ugra namanya bila berada pada cahaya berbadan
ahangkara.
Ketika umat Hindu ingin melakukan hubungan dengan Tuhannya
(Sanghyang Widhi, secara umum ditempuh dengan carasembahyang. Dengan
melakukan hubungan dengan sembahyang kepada Sanghyang Widhi terjadi interaksi
antara penyembah (Umat) dengan yang disembah (Sanghyang
Widhi).Maka dengan demikian yang disembah adalah Tuhan yang berpribadi (Saguna,
Sakala).Namun kadang-kadang oleh orang-orang tertentu Sanghyang Widhi
dipuja sebagai Tuhan yang tidak berpribadi (Nirguna, Niskala).Hal ini
adalah dalam kerangka memenuhi rasa filosofis seseorang. Maka dalam berhubungan
dengan Sanghyang Widhi, umat Hindu mengenal jalan yang disebut 1) Nirwrtti
Marga yaitu jalan kelepasan dengan merealisasikan Sanghyang Widhi sebagai
sunya dalam dirinya (jnana dan raja marga dalam catur marga), dan 2) Prawrtti
Marga yaitu jalan bakti dan karma dengan melaksanakan kewajiban hidup
sebaik-baiknya sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi, dimana Sanghyang
Widhi dipuja sebagai Ista Dewata yang direalisasikan dalam berbagai
bentuk, umumnya dalam bentuk yadnya dengan berbagai aktifitas ritual/upacara
dengan berbagai upakaranya.
Dengan melakukan sembahyang, berarti menempuh jalan Bhakti
dan Karma Marga.Walaupun secara konseptual Catur Marga sebagai jalan yang
terpisah namun dalam prakteknya antara Bhakti, Karma, Jnana dan Raja Marga
tidak dapat dipisahkan.
II.
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Puja Tri Sandhya
Kata Tri Sandhyā kita
dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab Agastya
Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna,
bhasmasnāna, mantrasnāna, …(Agastya Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa
tidak disebutkan urutan-urutan puja mantra tri sandya sebagaimana yang kita
ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai tiga pertemuan
waktu.Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam
(berhubungan) dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda
seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara
waktu.Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam
dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan
malam.Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar
terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada
waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi
dan memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan
sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu
untuk sembahyang.
Puja Tri Sandhyā adalah merupakan hasil rumusan yang
strukturnya amat serasi.Tampaknya yang merumuskan memahami hakekat sebuah
mantram dan mungkin sempat berkonsultasi dengan beberapa sulinggih yang
memahami tentang hal itu.Puja Tri sandhyā baru dikenal sekitar tahun 1950-an.
Pada waktu itu Prof. Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhyā, sebuah
buku yang dicetak dengan huruf Bali dan huruf Latin yang sangat bagus pada
jamannya.
Selanjutnya tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan,
menyusul diterbitkan buku Upadesa, sebagai sebuah buku yang besar jasanya dalam
memperkenalkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yang ditulis oleh Team.Dalam buku
inilah juga ditulis Puja Tri Sandhyā dan pedoman sembahyang yang cukup baik.
Sebagai sebuah rumusan mantram Puja Tri Sandhyā yang terdiri
dari enam (6) bait bersumber dari berbagai sumber. Bait pertama
bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat dalam kitab Rg Veda,
III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda kata bhur bhuvah svah tidak
ada. Tambahan kata bhur bhuvah svah itu terdapat dalam kitab Yajur Veda Putih,
36.3.
Bait kedua, bersumber dari salah satu dari
suatu rangkaian mantram yang panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda
Kepala). Catur Veda Sirah adalah salinan dari kitab Narayana Upanisad sebuah
Upanisad minor (kecil). Pada mantra ini pemuja memuja Tuhan sebagai Narayana,
Tuhan yang suci tanpa noda, Ia hanya tunggal tiada yang kedua.
Bait ketiga bersumber dari Siwa Astawa, puja
kedua, yaitu mantram pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai sebutan Tuhan dalam
berbagai-bagai sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak
nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan
Purusa. Masih banyak lagi sebutan yang lain. Namun bait ketiga dari Puja Tri
Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa Astawa ada perbedaan terutama pada baris terakhir.
Bait ketiga baris terakhir pada Puja Tri Sandhya berbunyi, “purusah
parikīrtitah,” (parikirtitah artinya dipanggil), sedangkan pada puja kedua
baris terakhir dari Siwa Astawa berbunyi, “purusah prakŗtis tathā,”
(prakrti artinya prakrti).
Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang
sama yaitu Ksamamahadevastuti 2-5 (Titib, 2003 : 40), tersebar dalam Wedasanggraha.
Dimana bait keempat adalah sebagai pengakuan bahwa diri serba hina dan
memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda. Bait kelima,
pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari semua papa, semua
kehinaan dan dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena Ialah penjaga semua makhluk
dan penguasa tertinggi atas segala yang ada.Bait keenam, pemuja memohon
ampun atas segala dosa dari anggota badan, kata-kata dan pikiran.
2.2
Bahasa yang digunakan dalam Mantram
Puja Tri Sandhya
Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa Sansekerta.Ada
tiga jenis bahasa Sansekerta yaitu, Sansekerta Veda, Sansekerta Klasik
dan Sansekerta Kepulauan (Hibrida). Sansekerta Veda adalah bahasanya
kitab Catur Veda Samhita, Sansekerta Klasik adalah bahasanya kitab-kitab
Itihasa dan Purana, dan sansekerta Kepulauan atau Hibrida adalah bahasa
Sansekerta yang didapati di Jawa dan Bali terutama dalam lontar-lontar puja.
Dengan demikian bait pertama dari Puja Tri Sandya memakai
bahasa Sansekerta Veda, bait kedua memakai bahasa Sansekerta Klasik, bait
ketiga sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta Kepulauan atau Hibrida.
2.3
Tata cara melaksanakan Puja Tri
SandhyāMenurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun 1991.”
2.3.1 Asana
Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk
atau sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap
tangan dan sikap badan.Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap tangan
adalah, Amusti Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan
ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam
kenggaman tangan kiri.Selanjutnya Puja Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap
berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki dan Bajrāsana
bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.
2.3.2 Prānāyāma
Prānāyāma artinya mengatur jalannya nafas.(Prāna artinya
tenaga hidup/nafas, ayāma artinya pengendalian/pengaturan).Gunanya untuk
menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti jalannya pikiran.Bila
pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai sembahyang.
Prānāyāma
dilakukan dengan cara :
- Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”
- Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.”
- Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”
2.3.3 Karasoddhana
Yaitu
pembersihan dan penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :
- Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.” (Om bersihkanlah hamba)
- Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).
2.3.4 Mantram Puja Tri Sandhyā
1. Om bhūr bhuvah svah
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo nah pracodayāt
2. Om nārāyana evedam sarvam
yad bhūtam yac ca bhavyam
niskalańko nirañjano
nirvikalpo nirākhyātah
śuddho deva eko
nārāyano na dvitiyo
asti kaścit
3. Om tvam śivah tvam mahādevah
īśvarah parameśvarah
brahmā vişņuśca rudraśca
puruşah parikīrtitah
4. Om pāpo ham papakarmāham
pāpātmā pāpasambhavah
trāhi mām puņdarīkākşa
sabāhyābhyantarah śucih
5. Om kşamasva mām mahādeva
sarvaprāņi hitańkara
mām moca sarva pāpebhyah
pālayasva sadā siva
6. Om kşāntavyah kāyiko doşah
kşāntavyo vāciko mama
kşāntavyo mānaso doşah
tat pramādāt kşamasva mām
Om śāntih śāntih śāntih Om
Artinya :
1.
Om adalah bhur bhuwah swah
kita
memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi. Semoga Ia
berikan semangat pikiran kita
2. Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa
yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kekotoran, bebas dari perubahan tak
dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
3. Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara,
Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa
4. Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa,
kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlah jiwa dan
raga hamba
5. Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan
keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa,
lindungilah oh Sanghyang Widhi
6. Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa
perkataan hamba ampunilah dosa pikira hamba, ampunilah hamba dari segala
kelalaian
Om, damai damai damai, Om.
III. PENUTUP
Berdasarkan akar katanya kata tri
artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan)
dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan
antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara waktu.Jadi yang
dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi,
antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam.Pertemuan
antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar terhindar dari
bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu
kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan
memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai
tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk
sembahyang.
Dan dari penjabaran tentang mantra
Puja Tri Sandhya di atas dapat disimpulkan bahwa, mantram Tri Sandhya merupakan
ibu mantra intisari Weda.Karena dalam mantra ini terdapat mantra Gayatri dan
mencakup seluruh aspek. Mulai dari memuji ke-Agungan Tuhan, mengakui bahwa
Tuhan hanya satu, mengakui banyak manifestai Tuhan, pengakuan akan dosa yang
telah kita lakukan, Memohon perlindungan Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan
adalah pengampun seluruh dosa, dan lain-lain. Bukankah ini semua merupakan
seluruh dari intisari Weda?Ini adalah ibu mantra yang paling praktis untuk
dilakukan di zaman Kali, karena tidak membutuhkan banyak waktu dalam
pelaksanaannya.Kita tidak lagi harus melakukan pemujaan hingga
berjam-jam.Walaupun singkat dan praktis namun esensi dari ibu mantra ini
mencakup ‘Catur Weda’. Dengan
demikian hanya dengan melakukan Puja Tri Sandhya secara rutin sama halnya
dengan kita membaca seluruh sloka-sloka suci Weda guna menuju hidup yang
harmonis. Ini membuktikan bahwa Puja Tri Sandhya sangat sempurna, karena
seluruh intisari Weda telah tertuang dalam ibu mantra ini. Mantram Puja Tri
Sandhya kemudian akan menjadi lebih sempurna lagi jika diikuti dengan melakukan
‘Kramaning Sembah’.
Demikianlah mantram Tri Sandhya, terjemahan dan
pemahamannya. Dengan pengertian dan pemahaman makna, sraddha, keyakinan kita kepada-Nya akan semakin mantap.
DAFTAR PUSTAKA
Chawdhri,
Dr.I.R. 2003. Rahasia Yatra, Mantra dan
Tantra. Surabaya: Paramita
http://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/diakses pada jam 17.00 WITA, senin,
18 November 2013
http://luhemik.wordpress.com/2011/02/04/makna-tri-sandhya/ diakses pada jam 17.00 WITA, senin,
18 November 2013
Suatama,
Ida Bagus. 2006. Mantra dan Belajar Aneka
Mantra. Surabaya: Paramita
Titib, Dr. I Made, 2003, Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa, Paramita Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar