Selasa, 28 Januari 2014

MAKNA MANTRAM TRI SANDHYA



MAKNA MANTRAM TRI SANDHYA
GEDE ARI KRISNA PUTRA
Abstrak
            Kata Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab Agastya Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, … (Agastya Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja mantra tri sandya sebagaimana yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai tiga pertemuan waktu.Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara waktu.Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam.Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk sembahyang.Berikut adalah mantram Tri Sandhya:
Bait ke-1
Om om om
O bhūr bhuva sva
tat savitur vareya
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo na pracodayāt
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kami.

Bait ke-2 :
O nārāyaa eveda sarva
yad bhūta yac ca bhavyam
nikalako nirañjano nirvikalpo
nirākhyāta śuddho  devo eko
nārāyaa  na dvitīyo ‘sti kaścit
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, semua yang ada berasal dari Sang Hyang Widhi baik yang telah ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhi bersifat gaib tidak ternoda tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkapkan, suci, Sang Hyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.

Bait ke-3
O tva śiva tva mahādeva
īśvara parameśvara
brahmā viṣṇuśca rudraśca
purua parikīrtitā
Terjemahan
Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (mahakuasa).Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya), Rudra (yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung).

Bait ke-4 :
O pāpo ‘ha pāpakarmāha
pāpātmā pāpasabhava
trāhi mā puṇḍarīkāka
sabāhyā bhyantara ‘śuci
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, hamba ini papa, perbuatan hambapun papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Widhi yang bermata indah bagaikan bunga teratai, sucikan jiwa dan raga hamba.

Bait ke-5 :
O kamasva ma mahādeva
sarva prāi hitakara
ma moca sarva pāpebhya
Pālayasva sadāśiva
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah hamba, Sang Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah hamba Om Sang hyang Widhi.

Bait ke-6 :
O kantavya kāyiko doa
kantavyo vāciko mama
kantavyo mānaso doa
tat pramādāt kamasva mām
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa yang dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang keluar melalui kata kata hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.



I. PENDAHULUAN
            Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya dengan identitas yang berbeda-beda antara agama yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhannya, setiap umat beragama ingin berhubungan dengan Tuhannya untuk memenuhi rasa keagamaannya. Tiap-tiap agama mempunyai cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak terbagi atau gaib (Niskala), dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna) dan seolah-olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122 disebutkan :Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Śiwatattwa.Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira.Mangekalaksana Śiwa-kārana juga, tan paprabheda.Aneka ngaranya kahidepan Bhattāra makalaksana Caturdhā.Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma para-sūnya.
Artinya :
Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia yang dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara dibayangkan bersifat Caturdha artinya sthula, suksma, para dan sunya.
Beliau sebagai Ia yang Eka (Esa), Beliau adalah Nirguna, Niskala. “Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng angen-angen, kadyangganing akasa, tan kagrhita dening manah mwang indriya” (Bhuwanakosa II, 16). Artinya :Bhatara Siwa meresapi segala, Ia yang gaib tak terpikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriaya.
Sedangkan Beliau sebagai Ia yang Aneka, Beliau adalah Saguna, Sakala.“Nihan wibhaga Bhatara munggwing rikang tattwa kabeh, Sarwājña ngaranira, yan umandel ing prthiwi, Bhāwa ngaranira yan umandel ing toya, Pasupati ngaranira yan umandel ing Sanghyang Agni, Isāna ngaranira yan umandel ing bayu.
Bhima ngaranira yan heneng ākāsa, kinahanan ta sira dening Astaguna, Māhadewa ngaranira yang haneng manah, tan pāwak, Ugra ngaranira yan haneng pañca tan mātra, Rudra ngaranira yan haneng teja makūwak ahangkāra”
(Bhuwanakosa III, 9, 10)
Artinya :
Inilah perincian Bhatara berada pada semua tattwa, Sarwajña namanya bila berada di tanah, Bhawa namanya bila berada di air, Pasupati namanya bila berada pada api, Isana namanya bila berada pada angin.
Bhima namanya bila berada di angkasa, dipenuhi Ia oleh Astaguna, Mahadewa namanya bila berada pada pikiran, Ugra namanya bila berada pada cahaya berbadan ahangkara.
Ketika umat Hindu ingin melakukan hubungan dengan Tuhannya (Sanghyang Widhi, secara umum ditempuh dengan carasembahyang. Dengan melakukan hubungan dengan sembahyang kepada Sanghyang Widhi terjadi interaksi antara penyembah (Umat) dengan yang disembah (Sanghyang Widhi).Maka dengan demikian yang disembah adalah Tuhan yang berpribadi (Saguna, Sakala).Namun kadang-kadang oleh orang-orang tertentu Sanghyang Widhi dipuja sebagai Tuhan yang tidak berpribadi (Nirguna, Niskala).Hal ini adalah dalam kerangka memenuhi rasa filosofis seseorang. Maka dalam berhubungan dengan Sanghyang Widhi, umat Hindu mengenal jalan yang disebut 1) Nirwrtti Marga yaitu jalan kelepasan dengan merealisasikan Sanghyang Widhi sebagai sunya dalam dirinya (jnana dan raja marga dalam catur marga), dan 2) Prawrtti Marga yaitu jalan bakti dan karma dengan melaksanakan kewajiban hidup sebaik-baiknya sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi, dimana Sanghyang Widhi dipuja sebagai Ista Dewata yang direalisasikan dalam berbagai bentuk, umumnya dalam bentuk yadnya dengan berbagai aktifitas ritual/upacara dengan berbagai upakaranya.
Dengan melakukan sembahyang, berarti menempuh jalan Bhakti dan Karma Marga.Walaupun secara konseptual Catur Marga sebagai jalan yang terpisah namun dalam prakteknya antara Bhakti, Karma, Jnana dan Raja Marga tidak dapat dipisahkan.


























II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Puja Tri Sandhya
Kata Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab Agastya Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, …(Agastya Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja mantra tri sandya sebagaimana yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai tiga pertemuan waktu.Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara waktu.Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam.Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk sembahyang.
Puja Tri Sandhyā adalah merupakan hasil rumusan yang strukturnya amat serasi.Tampaknya yang merumuskan memahami hakekat sebuah mantram dan mungkin sempat berkonsultasi dengan beberapa sulinggih yang memahami tentang hal itu.Puja Tri sandhyā baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Pada waktu itu Prof. Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhyā, sebuah buku yang dicetak dengan huruf Bali dan huruf Latin yang sangat bagus pada jamannya.
Selanjutnya tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan, menyusul diterbitkan buku Upadesa, sebagai sebuah buku yang besar jasanya dalam memperkenalkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yang ditulis oleh Team.Dalam buku inilah juga ditulis Puja Tri Sandhyā dan pedoman sembahyang yang cukup baik.
Sebagai sebuah rumusan mantram Puja Tri Sandhyā yang terdiri dari enam (6) bait bersumber dari berbagai sumber. Bait pertama bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat dalam kitab Rg Veda, III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda kata bhur bhuvah svah tidak ada. Tambahan kata bhur bhuvah svah itu terdapat dalam kitab Yajur Veda Putih, 36.3.
Bait kedua, bersumber dari salah satu dari suatu rangkaian mantram yang panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah adalah salinan dari kitab Narayana Upanisad sebuah Upanisad minor (kecil). Pada mantra ini pemuja memuja Tuhan sebagai Narayana, Tuhan yang suci tanpa noda, Ia hanya tunggal tiada yang kedua.
Bait ketiga bersumber dari Siwa Astawa, puja kedua, yaitu mantram pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai sebutan Tuhan dalam berbagai-bagai sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa. Masih banyak lagi sebutan yang lain. Namun bait ketiga dari Puja Tri Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa Astawa ada perbedaan terutama pada baris terakhir. Bait ketiga baris terakhir pada Puja Tri Sandhya berbunyi, “purusah parikīrtitah,” (parikirtitah artinya dipanggil), sedangkan pada puja kedua baris terakhir dari Siwa Astawa berbunyi, “purusah prakŗtis tathā,” (prakrti artinya prakrti).
Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang sama yaitu Ksamamahadevastuti 2-5 (Titib, 2003 : 40), tersebar dalam Wedasanggraha. Dimana bait keempat adalah sebagai pengakuan bahwa diri serba hina dan memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda. Bait kelima, pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena Ialah penjaga semua makhluk dan penguasa tertinggi atas segala yang ada.Bait keenam, pemuja memohon ampun atas segala dosa dari anggota badan, kata-kata dan pikiran.

2.2 Bahasa yang digunakan dalam Mantram Puja Tri Sandhya
Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa Sansekerta.Ada tiga jenis bahasa Sansekerta yaitu, Sansekerta Veda, Sansekerta Klasik dan Sansekerta Kepulauan (Hibrida). Sansekerta Veda adalah bahasanya kitab Catur Veda Samhita, Sansekerta Klasik adalah bahasanya kitab-kitab Itihasa dan Purana, dan sansekerta Kepulauan atau Hibrida adalah bahasa Sansekerta yang didapati di Jawa dan Bali terutama dalam lontar-lontar puja.
Dengan demikian bait pertama dari Puja Tri Sandya memakai bahasa Sansekerta Veda, bait kedua memakai bahasa Sansekerta Klasik, bait ketiga sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta Kepulauan atau Hibrida.
2.3 Tata cara melaksanakan Puja Tri SandhyāMenurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun 1991.”
2.3.1 Asana
Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap tangan dan sikap badan.Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap tangan adalah, Amusti Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam kenggaman tangan kiri.Selanjutnya Puja Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki dan Bajrāsana bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.
2.3.2 Prānāyāma
Prānāyāma artinya mengatur jalannya nafas.(Prāna artinya tenaga hidup/nafas, ayāma artinya pengendalian/pengaturan).Gunanya untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti jalannya pikiran.Bila pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai sembahyang.
Prānāyāma dilakukan dengan cara :
  • Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”
  • Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.”
  • Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”
2.3.3 Karasoddhana
Yaitu pembersihan dan penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :
  • Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.” (Om bersihkanlah hamba)
  • Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).
2.3.4 Mantram Puja Tri Sandhyā
1. Om bhūr bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo nah pracodayāt
2. Om nārāyana evedam sarvam
yad bhūtam yac ca bhavyam
niskalańko nirañjano
nirvikalpo nirākhyātah
śuddho deva eko
nārāyano na dvitiyo
asti kaścit
3. Om tvam śivah tvam mahādevah
īśvarah parameśvarah
brahmā vişņuśca rudraśca
puruşah parikīrtitah
4. Om pāpo ham papakarmāham
pāpātmā pāpasambhavah
trāhi mām puņdarīkākşa
sabāhyābhyantarah śucih
5. Om kşamasva mām mahādeva
sarvaprāņi hitańkara
mām moca sarva pāpebhyah
pālayasva sadā siva
6. Om kşāntavyah kāyiko doşah
kşāntavyo vāciko mama
kşāntavyo mānaso doşah
tat pramādāt kşamasva mām
Om śāntih śāntih śāntih Om
Artinya :
1. Om adalah bhur bhuwah swah
kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi. Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
2. Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kekotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
3. Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa
4. Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba
5. Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sanghyang Widhi
6. Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba ampunilah dosa pikira hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian
Om, damai damai damai, Om.














III. PENUTUP
Berdasarkan akar katanya kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di (ditaruh)yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.Sandhyā artinya hubungan antara waktu.Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam.Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis.Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan.Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk sembahyang.
Dan dari penjabaran tentang mantra Puja Tri Sandhya di atas dapat disimpulkan bahwa, mantram Tri Sandhya merupakan ibu mantra intisari Weda.Karena dalam mantra ini terdapat mantra Gayatri dan mencakup seluruh aspek. Mulai dari memuji ke-Agungan Tuhan, mengakui bahwa Tuhan hanya satu, mengakui banyak manifestai Tuhan, pengakuan akan dosa yang telah kita lakukan, Memohon perlindungan Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pengampun seluruh dosa, dan lain-lain. Bukankah ini semua merupakan seluruh dari intisari Weda?Ini adalah ibu mantra yang paling praktis untuk dilakukan di zaman Kali, karena tidak membutuhkan banyak waktu dalam pelaksanaannya.Kita tidak lagi harus melakukan pemujaan hingga berjam-jam.Walaupun singkat dan praktis namun esensi dari ibu mantra ini mencakup ‘Catur Weda’. Dengan demikian hanya dengan melakukan Puja Tri Sandhya secara rutin sama halnya dengan kita membaca seluruh sloka-sloka suci Weda guna menuju hidup yang harmonis. Ini membuktikan bahwa Puja Tri Sandhya sangat sempurna, karena seluruh intisari Weda telah tertuang dalam ibu mantra ini. Mantram Puja Tri Sandhya kemudian akan menjadi lebih sempurna lagi jika diikuti dengan melakukan ‘Kramaning Sembah’.
Demikianlah mantram Tri Sandhya, terjemahan dan pemahamannya. Dengan pengertian dan pemahaman makna, sraddha, keyakinan kita kepada-Nya akan semakin mantap.



DAFTAR PUSTAKA

Chawdhri, Dr.I.R. 2003. Rahasia Yatra, Mantra dan Tantra. Surabaya: Paramita
http://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/diakses pada jam 17.00 WITA, senin, 18 November 2013
http://luhemik.wordpress.com/2011/02/04/makna-tri-sandhya/ diakses pada jam 17.00 WITA, senin, 18 November 2013
Suatama, Ida Bagus. 2006. Mantra dan Belajar Aneka Mantra. Surabaya: Paramita
Titib, Dr. I Made, 2003, Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa, Paramita Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar