TUGAS ITIHASA
Cerita
Sang Jaratkaru
Oleh:
Nama : Gede Ari Krisna Putra
NIM : 10.1111.3874
Kelas : PAH
B
/ V
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
Sang Jaratkaru
Tersebutlah seorang pertapa sakti
yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil
biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu
dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban
kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan
istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin
bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke
segala tempat yang ia kehendaki.
Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka,
dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka.
Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah
buluh petung, mukanya tertelungkup , kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah
jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh
tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang
itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air
matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun
mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal,
berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.
Sang Jaratkaru bertanya kepada
leluhur itu, “Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir
putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga
dalamnya?” seru Sang Jaratkaru. Leluhur itu pun menjawab, “Keadaan saya seperti
ini adalah karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dengan
dunia leluhur dan bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk
neraka.” “Ada seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan
melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak beristri, karena menjadi seorang
brahmacari dari kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada dibuluh ini, karena
brata semadhinya kepada asrama sang pertapa” kata sang leluhur itu. “Kalau
engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya memiliki
keturunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur.”
Sang Jaratkaru tersayat hatinya
melihat leluhurnya menderita susah. “Saya inilah yang bernama Jaratkaru,
seorang keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi brahmacari. Apapun
kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali ke sorga, janganlah khawatir, saya akan
menghentikan kebrahmacarian saya dan mencari anak istri. Yang saya kehendaki
istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tiada bertentangan dalam
perkawinan. Bila sudah mempunyai anak, akan menjadi brahmacari lagi, senanglah
hatimu.”
Demikianlah kata Sang Jaratkaru,
pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru,
tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya.Karena tidak tahu harus
berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat
menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia
sambil mengeluh kepada semua Dewata. Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai
segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang
brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar
saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”
Tangis Sang Jaratkaru itu
terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan
memberikannya adiknya Sang Naga Ngini yang diberi nama Jaratkaru supaya
berputra seorang brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular
(yadnya sarpa).
Akhirnya Sang Jaratkaru pun beristri
Jaratkaru yang akan memberikannya putra dan membebaskan roh leluhurnya dari
kesengsaraan. Selama dia (Jaratkaru) duduk di tempat duduk,
berkatalah Jaratkaru kepada istrinya "Saya berjanji dengan engkau, jika
engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan
yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan
meninggalkan engkau". Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup
bersamalah mereka.
Setelah
beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru.
Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya
ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya.
Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya: “Pangkulah
olehmu kepalaku waktu tidur”. Dengan hati-hati si istri memangku kepada si
suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah
si naga perempuan Jaratkaru, katanya: "Sekarang adalah waktu sorenya para
dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan.
Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia
sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas
agama kepada para dewa.
Lalu
dibangunnyalah si suami: "Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku”.
Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga
telah tersedia serta bau-bauan dan padi." Demikianlah katanya sambil
mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan
memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya.
Katanya:
"Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku,
engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai
istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini. "Demikianlah
sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari
memeluk si suami: "Hai tuanku, maafkan hamba tuanku. Bukan maksud hati
menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu
tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau
kembali, tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan
menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa
lagi."
Demikianlah
kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Alangkah
pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa
ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk
meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau
kuatir.
Asti,
itulah nama anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular.
Tenangkanlah hatimu". Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat
ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si
suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa
perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah
beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak
itu Astika, karena si bapak mengucapkan "Asti".
Dipeliharalah
dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi Brahmana,
dirawat dan diberi kalung Brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang
menggantung di ujung bambu itu melesat pulang ke Pitraloka, menikmati pahala
tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca
Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran
Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka
terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar