DHARMA
WACANA
Pawiwahan
Sistem Perkawinan Hindu di Bali
Oleh
:
Gede
Ari Krisna Putra
NIM. 10.1.1.1.1. 3874
PAH B
/ VII
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2014
Pawiwahan
Sistem Perkawinan Hindu di Bali
1. Pendahuluan
Manusia
itu lahir di Bhuvana Alit dan terus lahir lahir di Bhuvana Agung. Bhuava Alit
itu adalah kandungan ibunya. Di dalam kandungan ibunya manusia yang masih
berbentuk janin itu oleh alam melalui Catur Sanaknya seperti darah, yeh nyom,
lamas dan Ari-ari. Lewat Catur Sanak itulah janin itu semakin dimanusiakan
dalam kandungan ibunya. Setelah ia lahir ke dunia atau Bhuvana Agung ia
dimanusiakan oleh lingkungannya baik itu lingkungan alam aupun oleh lingkungan
sesama manusia. Manusia itu dimanusiakan dengan berbagai jalan. Salah satu
jalan yang ditempuh adalah ritual Agama. Ritual Agama dalam tradisi Hindu di
Bali disebut Upacara Manusa Yajna. Dari bayi itu baru lahir sampai ia melangsungkan
upacara perkawinan (Wiana, 2002:239).
Manusa yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi
kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara manusa yadnya masalah
tempat, keadaan dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu
dilaksanakan pada saat anak mengalami
masa peralihan, hal ini dilatar belakangi oleh adanya suatu
anggapan bahwa pada saat-saat itulah seorang anak dalam keadaaan kritis, sehingga perlu
dilaksanakan suatu upacara atau keselamatan. Dalam menyenglenggarakan segala
usaha serta kegiatan dalam bentuk yang lain nyata demi kemajuan pendidikan,
kesehatan dan lain-lain
guna persiapan menempuh kehidupan sehari-hari. Demikianlah pengertian manusa yajna jika dilihat secara umum.
Namun dalam konsep Sastra Agamanya rumusan Manusa yajña agak berbeda dengan pengertian secara umum dewasa ini di
Bali. Sumber sastra agama yang berbahasa sansekerta maupun bahasa kawi
merumuskan manusa yajña itu adalah
sebagai ritual untuk melayani Atithi
Yajña dan menjamu masyarakat dengan makanan dan minuman sesuai dengan
kemampuan. Di dalam kitab Sathapata Brahman
dari Rg weda bahwa “manusa Yajña itu adalah persembahan berupa
makanan kepada orang lain”. Di dalam kitab (Manawa Dharmasastra III. 70) Manusa Yajña bahwa “dengan
istilah Nara Yajña yang penerimaan tamu dengan ramah tamah atau Atihti Puja. Nara Yajña Atithi pujanam”. Sedangkan
dalam sloka 81 disebutkan bahwa “Nara Yajña itu adalah mempersembahkan
makanan kepada masyarakat”. Pengertian manusa yajna di dalam sumber bahasa
sansekerta itu sejalan dengan pengertian Manusa Yajna yang dirumuskan dalam
sumber-sumber Sastra Agama yang berbahasa Jawa kuna.
Didalam kitab Korawa Asrama yang
berbahasa jawa kuan manusa Yajna itu disebutkan bahwa “memberikan makanan
kepeda masyarakat”. Didalam lontar
Agastia Parwa juga berbahasa jawa kuna disebutkan bahwa “Manusa Yajna itu
adalah mempersembahkan makanan kepada masyarakat”.
Nampaknya mempersembahkan makanan inilah wujud Manusa Yajna
sebagaimana dirumuskan dalam sastra agama yang ada. Sedangkan upacara untuk
menyucikan manusia dari ia baru lahir sampai ia kawin dalam sumber sastra agama
disebut Sarira Samskara atau disebut Samskara saja. Hal ini ditegaskan dalam
kitab Manawa Dharmasastra II, 26. Dalam sloka – sloka diuraikan
nama dan tata penyelenggaraan upacara Sarira
Samskara tersebut. Proses penyucian inilah dalam tradisi Hindu di Bali
disebut manusa yajna. Kalau kita renungkan landasan filosofinya tidaklah salah
kalau upacara Sarira Samskara itu
disebut Manusa Yajna. Upacara Manusa Yajna itu menganisiasi manusia dari satu
tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status kesuciannya
begitu juga Sarira Samskara (Wiana :2002 :240).
Upacara dengan upakara manusa yadnya memvisualisasikan
secara ritual agama cita-cita menyucikan manusia agar menjadi manusia sebagai
manusia sebagaiman mestinya. Manusia dalam hidupnya perlu disucikan dari tiga
bentuk kekotoran. Setiap gerakan alam dan manusia selalu menimbulkan dua aspek,
yaitu aspek yang positif dan negatif. Usaha-usaha manusia tentunya harus
berusaha untuk menanggulangi akibat negatif tersebut agar pengaruhnya sekecil
mungkin (Tinggen, 2002:3).
2. Pembahasan
1). Pengertian Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di
Bali
Upacara
perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai
suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka
bersama. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir
bathinnya. Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari
pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu
(terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “Manik” yang sudah bersih, sehat dan selamat.
Dengan
demikian diharapkan agar “Roh” yang akan menjiwai Manik itu adalah Roh yang
baik/suci dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna dimasyarakat
(yang menjadi idaman orang tuanya). Lain daripada itu, dengan adanya upacara
perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih
Agama Hindu sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangganya.
Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresthi, Eka Pertama dan
lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (di dalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upakara
“pedengen-dengenan” (pekala-kalaan) di anggap tidak baik dan disebut
“Kamakeparagan”. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan, maka
lahirlah anak yang disebut “Rare-diadiu”,
yang tidak mau mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama. Hal ini
mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui/disetujui oleh kedua belah
pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda).
Tetapi di Bali masih sering terjadi
perkawinan secara “Ngerorod”, sehingga kemungkinan sekali segala upacara akan
ditunda sampai tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan
sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dapat dianggap sebagai
“Kamakeparagan”, karena perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa
tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan
perkawinan antara Dewi Sakuntala dengan Prabu Duswanta, di mana menurut
ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan sesuatu upakara/ upacara apapun.
2). Tujuan Upacara
Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Menurut ajaran agama
Hindu, tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
(1).Menurut
Manu dalam kitab Manawa Dharma Sastra
disebutkan “Perkawinan itu akan Dharma
dan diabadikan berdasarkan Veda dan merupakan salah satu sarira samkara atau
penyucian badan melalui perkawinan”.
(2).Untuk
memperoleh keturunan (anak) yang dapat dipandang sebagai jalan untuk menebus
hutang (Rna) dan juga untuk melepaskan derita orang tuanya, diwaktu mereka
meninggal nanti.
(3).Kawin dan mempunyai anak
adalah Dharma dan merupakan perintah agama yang dimuliakan (Sukartha, 2002:4).
Selain itu, penyelenggaraan upacara
perkawinan bertujuan untuk memberikan “Penyangaskara”
hingga perkawinan dimaksud beserta akibat-akibatnya nanti bernilai suci menurut
agama.
3). Syarat-Syarat Sahnya
Suatu Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan
menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 dan kitab Manawa Dharma Sastra
menyebutkan bahwa perkawinan harus didasari atas cinta sama cinta, telah melaksanakan
upacara mabyakala atau makalan-kalan (byakawonan) disebut Bhuta Saksi, telah
dilakukan persaksian dan perwalian dari yang berwenang (manusa saksi), telah
melakukan upacara perkawinan menurut tata cara agama (Dewa Saksi) dan telah
mendapat pengesahan atau dibenarkan menurut hukum agama dan memenuhi
syarat-syarat administrasi yang telah ditentukan.
4). Sistem Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Berdasarkan tradisi
atau hukum adat bagi umat Hindu terdapat empat sistem yang dilaksanakan sebagai
berikut :
(1).Sistem Mepadik (meminang).
Mepadik
adalah bentuk perkawinan yang dipandang paling terhormat baik menurut adat Bali
maupun menurut agama Hindu. Yang melakukan peminangan itu adalah pihak keluarga
laki-laki atau purusa, yang dapat menemui pihak keluarga si wanita. Hal ini
dilakukan atas persetujuan putra-putri kedua belah pihak yakni pihak pradhana
(pihak wanita) dan pihak purusa (pihak laki). Sebelum peminangan dilakukan,
sudah terjadi jalinan dan paduan janji saling cinta mencintai antara kedua
belah pihak calon mempelai (Sudharta, 1993:118-119).
(2).Sistem Ngrorod atau Ngerangkat yang dikenal
dengan sistem Pelarian. Perkawinan ini tanpa adanya persetujuan keluarga dari
kedua belah pihak, maka maka dalam perkawinan ini diambil jalan pintas yaitu
pelarian serta meminta/memohon perlindungan dari pihak ketiga.
(3).Sistem Nyentana (matrilokal) terjadinya perkawinan dengan cara yang hormat yang didahului
dengan cara meminang oleh pihak keluarga perempuan. Hal ini terjadi mengingat dalam keluarga perempuan
itu tidak mempunyai keturunan (sentana) laki-laki. Pihak
wanita berkedudukan sebagai purusa dan pihak laki-laki berkedudukan sebagai
pradana.
(4).Sistem Ngunggahin, salah satu
bentuk perkembangan tersendiri dari sistem ngerangkat.
5). Tata
Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Tata upacara perkawinan dilaksanakan
setelah kedua belah pihak dari kedua mempelai memberikan persetujuan yang
kemudian oleh keluarga yang bersangkutan, dalam hal ini yang berkedudukan
sebagai purusa memohonkan dewasa/perhitungan hari yang baik. Dalam pelaksanaan
ini biasanya dimohonkan dewasa kepada Pendeta yang nantinya sekaligus akan
menyelesaikan upacaranya secara agama. Upacara-upacara di dalam perkawinan
kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1).Upacara
medengen-dengenan (mekala-kalaan) adalah upacara yang terpenting (pokok) di
dalam perkawinan, karena dalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara
rokhaniah terhadap “bibit” kedua mempelai, dan pesaksian atas perkawinannya,
baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak
tertunda.
(2).Upacara
natab, dan mapejati (ngaba jaja), merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan.
Tujuannya untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberi bimbingan
hidup dan menentukan status salah satu
pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada
keadaan.
Mengenai
tata cara upacara medengen-dengenan yaitu dimulai dengan mabyakala,
dan maprayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kamulan
serta banten pedengen-dengenan. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu
kedua mempelai bersembahyang, kemudian di upakarai dengan alat-alat yang ada
pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segau, tepung tawar dan sebagainya,
lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan.
Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kamulan, Sanggar
Pasaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul
pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang
laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok
bebelanjaan” (waktu berjalan pengantin yang laki memikul tegen-tegenan dan yang
perempuan menjungjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai
simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Selain itu makna
yang terkandung dalam upacara ini adalah untuk mewujudkan rasa kesepakatan,
dimana nanti dalam kehidupan selanjutnya, segala apa yang akan didapatkan akan
selalu diselesaikan dengan kesepakatan musyawarah serta sama-sama bertanggung
jawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan
“merobek tikar” (tikeh dadakan), dimana pengantin yang perempuan memegang tikar
tersebut, dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada Penegtegan. Hal
ini merupakan simbul “ pemecahan selaput
gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada
cabang dadap (pepegatan), sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya,
dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami-istri. Kemudian bersama-sama
menanam pohon kunir, andong dan keladi di belakang Sanggah Kamulan, dilanjutkan
dengan mandi/berganti pakaian. Sore harinya dilakukan upacara melukat,
mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mapejati (ngaba jaja).
Upacara mepejati ini bertujuan untuk menyatakan bahwa mulai saat itu si gadis
tidak masih menjadi tanggung jawab dan
hak waris keluarganya. Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai.
6). Susunan Upakara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
(1).Upakara
yang kecil :
Untuk penyemputan, di muka rumah si suami.
Segehan cacahan warna lima, api takep
dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan.
Banten pedengen-dengen
(pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
(2).Upakara
yang lebih besar :
Untuk penyemputan di muka rumah si
suami.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon.
Untuk peresmian perkawinan.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon dan tataban pulagembal, serta sesayut nganten.
Sedangkan
untuk upacara mepejati atau mejauman upakaranya adalah berupa banten pejati
yang dilengkapi dengan beberapa jenis jajan untuk oleh-oleh (gagapan) kepada
sanak keluarga mempelai yang berkedudukan sebagai Pradana (yang kawin).
3. Penutup
Pengertian
Upacara Perkawinan (wiwaha) merupakan
persaksian, baik kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut
mengikatkan diri sebagai suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi
tanggung jawab mereka bersama.
Tujuan
Upacara Perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan (anak) yang dapat
dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan juga untuk melepaskan
derita orang tuanya, diwaktu mereka meninggal nanti. Syarat Sahnya suatu
perkawinan yaitu ditandai dengan melaksanakan upacara perkawinan dengan
menghadirkan Tri Saksi (Bhuta Saksi,
Manusa Saksi dan Dewa Saksi).
Sistem
Perkawinan Hindu di Bali ada 4 yaitu sistem mepadik (meminanng), sistem ngerorod, sistem nyentana
dan sistem ngulapin. Tata Cara Pelaksanaan Upacara
Perkawinan Hindu di Bali yaitu upacara-upacara di dalam
perkawinan kiranya
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : upacara medengen-dengenan (mekala-kalaan)
dan upacara mapejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar