Selasa, 28 Januari 2014

YOGA MARGA RAHAYU (MERESUME BUKU



                TUGAS YOGA  I
YOGA
MARGA RAHAYU
(MERESUME BUKU)

Dosen Pengampu: I Ketut Sumardana, S.Pd.H












Oleh :
Gede Ari Krisna Putra
NIM. 10. 1.1.1.1 3874
PAH B / IV




FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012

YOGA
(MARGA RAHAYU)


I. Pengertian dan Tujuan Yoga
1.1. Pengertian Yoga
            Kata yoga berasal dari bahasa Sanskerta “yuj”, yaitu menghubungkan atau hubungan, yakni hubungan yang harmoni dengan objek yoga. Maharsi Patanjali dalam kitabnya, Yogasutra (I:2) mendefinisikan yoga: “yogas citta vrtti nirodhah”, yang artinya, mengendalikan gerak-gerik pikiran, atau cara untuk mengendalikan tingkah-polah pikiran yang cendrung liar, bias, dan lekat terpesona oleh aneka ragam objek (yang dikhayalkan) memberi nikmat.
            Oleh karena itu, kini kita mulai menyadari bahwa mengendalikan pikiran adalah hal yang terpenting. Mengendalikan dalam konteks yoga lebih berarti “amuter tutur pinahayu” membalik kesadaran secara benar (Kanwa X:1). Artinya kesadaran yang sebelumnya cendrung mengarah keluar dan suka berada diluar diri adalah kesadaran yang lebih cenderung terjebak, karena seringkali didasari oleh pengetahuan yang keliru. Maksudnya pikiran hendaknya diusahakan berdasar atas pengetahuan yang benar. Biar seimbang dan tidak cendrung lupa diri, sewaktu-waktu dalam waktu yang tepat kita perlu meluangkan waktu untuk membalik pikiran, yakni diarahkan kedalam diri dengan cara:
1.  Duduk mantap dalam diam terpejam,
2.  Dengan nafas halus alami,
3.  Lalu secara rileks menarik pikiran (indra) agar lepas sebentar dari aneka ragam objek nikmatnya diluar,
4.  Terus diarahkan kembali pulang kanda, kedalam diri,
5.  Terus dibiasakan terkonsentrasi menembus lapis-lapis diri menuju pada satu titik pusat meditasi (misal pada salah satu cakra, simpul batin),
6.  Disitu lalu ditenangkan, dimurnikan, dan dikontemplasikan dalam renungan mendalam,
7.  Dan bila berhasil mencapai puncak permenungan mendalam itu, maka terseraplah dalam kelenyapan dalam itu, kebahagiaan sejati.
            Kata Sang Rsi, ia yang “ulah apageh” tekun berusaha dan mantap, seperti itulah yang disebut-sebut sebagai orang yang berhasil dalam yoga, mendapat pencerahan yang membahagiakan. Cirinya ia punya siddhi dan taksu daya bathin dan karisma. Laras dengan itu Mpu Kanwa melukiskan pengalaman yoga Arjuna setelah ia berhasil dalam perjuangan bathinnya memurnikan indra dan emosinya menjadi daya budi dan daya rasa. Disitu Mpu Kanwa mengisyaratkan kepada kita bahwa, yoga adalah jalan kesucian untuk menemukan-memahami-dan mengalami kemanunggalan dengan Yang Suci. Mpu Kanwa tegas dan dengan berulang-ulang mengatakan caranya, mareka mendekati itu, mendekati berarti berusaha menjadi (sahrdaya) sehati. Jika itu Suci, maka kita haruslah berusaha menjadikan diri suci. Jika itu Kebahagiaan, maka kita haruslah berusaha membahagiakan diri. Jika itu Pengetahuan, maka kita haruslah berpengetahuan. Jika itu Kebajikan, maka kita haruslah berbuat bajik.
            Demikian disarankan, jadi kita harus tapa-bratha berusaha keras dan disiplin mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekat sampai mampu mengidentifikasikan diri seidentik mungkin dengan itu “Tuhan Sang Pujaan Hati”. Adapun yang dimaksud ‘Itu tampak nyata’ adalah hasil yoga, yakni Siddha ‘berhasil’:
1.  Menemui itu,
2.  Memikirkan itu, demikian selalu,
3.  Maka bila tiba waktunya, sang yogin berhak dan mendapat manunggal dengan itu.
Itu adalah Siva, Sang Hakekat Semesta, Sang Sumber Pengetahuan-Kebajikan-Kebahagiaan Sejati. Simpul kata, yoga adalah jalan untuk mulat sarira ‘merefleksi diri, intropeksi diri’ yang menyebabkan orang tahu diri. Disebut juga sebagai jalan panyupatan ‘ruwatan’ yang dapat menjadikan orang suci lahir dan bathin. Suci berarti sahrdaya, yakni sehati dalam Tuhan Yang Mahasuci.

1.2. Tujuan Yoga
            Tujuan riil (jangka pendek) orang belajar yoga adalah agar menjadi manusia rahayu, sehat dan bahagia lahir bathin, tidak sakit-sakitan, terhindar dari penderitaan. Agar menjadi manusia sadar, dapat melaksanakan tugas hidup sebagaimana mestinya.
            Sedangkan tujuan ideal (jangka panjang), seperti telah disebutkan diatas adalah agar mendapat pengalaman religius, yakni mengetahui-memahami-dan mengalami kemanunggalan dengan Sang Jati Diri, manunggalnya atman ‘roh individu’ dengan Atman atau Brahman ‘Roh Semesta, Tuhan’. Akan tetapi bagi, pengagum daya magis, siddhi ‘kekuatan supranatural’ itulah dijadikan tujuan utamanya, maka ia melaksanakan yoga yang khas.


II. Pikiran
            Tentulah ada sebab yang sangat mendasar dan penting, mengapa para maharsi pertama-tama menaruh perhatian demikian besar kepada pikiran. Bhatara Isvara pun dalam iraiannya tentang duka meletakan adhyatmika duhka ‘duka akibat pikiran’ pada urutan pertama. Atas dasar itu, dalam rangka buku yoga ini pun kita pertama mengutamakan pembahasan pikiran. Ada 3 persoalan pokok yang berkenan dengan pikiran:
1.  Apa itu Pikiran?
2.  Mengapa perlu dikendalikan?
3.  Dan bagaimana caranya mengendalikan Pikiran?
Jawaban para bijak dapat kita temukan dalam kitab dan sastra suci Hindu, yang dirangkum sebagai berikut.

2.1. Pengaruh Pikiran
            Maharsi Patanjali menyebut pikiran itu citta, Beliau lalu mengatakan “pikiranlah penyebab utama orang menderita atau bahagia. Hanya orang yang dapat mengendalikan atau memanfaatkan pikirannya secara baik, apik dan benar saja yang dapat hidup santosa” (Yogasutra I: 12-17). Atas dasar itulah beliau mewariskan Yoga Darsana ‘ajaran yoga’ yang lebih bersifat praktis mengimbangi pasangannya, Samkhya Darsana ‘ajaran samkhya’, yang bersifat teoretis spekulatif. Inti ajarannya dirumuskan dalam bentuk sutra ‘kalimat singkat yang padat makna dan bersifat puitis’. Inti ajaran Muni Patanjali dirumuskan “Yogas citta nirodhah” artinya yoga adalah mengendalikan gerak-gerik pikiran. Ada 3 konsep penting yang harus kita pahami dari rumusan itu, yakni konsep:
1.  Nirodhah (mengendalikan),
2.  Citta (pikiran), dan
3.  Wrtti (fluktuasi, gelombang, gerak-gerik pikiran).
            Maharsi Wararuci, dalam kitabnya Sarasamuscaya (sloka 79-82), juga mengatakan simpulan yang senada dengan rumusan Muni Patanjali, “pikiranlah yang menjadi penentu utama, maka orang menderita atau bahagia. Karena pikiran adalah sang penguasa indria. Pikiranlah yang menyebabkan orang berbuat baik atau buruk. Jika orang dapat mengendalikan pikirannya, pastilah ia memperolaeh kebahagiaan, baik sekarang maupun dikemudian hari”.
            Mpu Kanwa, dalam kekawin monumentalnya Kekawin Arjunawiwaha (I:5) pun mengatakan hal yang senada, “tidak ada manfaatnya merafal japa-mantra (formula suci) itu jika orang masih dikuasai oleh guna rajas dan tamas (sifat egois dan gelap bathin). Akan tetapi ia yang tekun mengendalikan pikiran dan tekun bhakti kepada Tuhan, pastilah mendapat restu mencapai keberhasilan hidup, dapat nikmat kebahagiaan lahir dan bathin”.

2.2. Fluktuasi dan Fungsi Pikiran
            Menurut gerak lincah-egois dan terpusat-tenangnya pikiran dapat dibedakan atas 5 jenis, yaitu:
1.  Ksipta, yakni pikiran yang tidak pernah diam. Orang ksipta pikirannya bagaikan prilaku anak kecil, tidak pernah diam, segala yang baru dilihatnya dianggapnya baik, setiap ajaran yang baru segera dianutnya.
2.  Mudha, yakni pikiran yang egois. Pikiran orang mudha bagaikan prilaku anak muda, yang congkak, sombong, tamak, angkara dll.
3.  Wiksipta, yakni pikiran yang mulai dewasa, tetapi masih mendua dan sering ragu. Orang wiksipta paham akan tingkatan-tingkatan ajaran hakikat, tingkah polahnya menurut ajaran susila, tahu perbuatan baik-buruk, akan tetapi tetap saja ada keraguan dihatinya, karena guna rajas masih kuat mempengaruhi dirinya.
4.  Ekagra atau Ekakrta, yakni pikiran yang terpusat. Orang ekagra keadaan pikirannya tenang karena pengaruh guna sattwam yang kuat pada dirinya, dan ia melalui disiplin diri mengikuti tahapan-tahapan padu latihan yoga.
5.  Nirudha, yakni pikiran yang tenang santosa. Keadaan pikiran ini diperoleh setelah orang mampu ekagra, ‘memusatkan pikiran secara tepat, mantap dan baik’.

            Sementara dari sudut pandang fungsi pikiran dapat dibedakan atas 4 bagian, yaitu:
1.  Manas, yakni pikiran yang fungsinya hanya untuk penerima informasi atau pengalaman dari dasendriya. Ia dipandang sebagai pikiran yang lebih bersifat objektif, karena hanya menerima.
2.  Ahamkara, yakni pikiran yang fungsinya mengakui. Disebut ego, ini milikku, aku ingin itu dll. Ia adalah pikiran yang bersifat subjektif karena keakuannya, yakni mengakui atau menikmati kesan yang diterima manah.
3.  Buddhi, yakni inteleks. Pikiran yang fungsinya menganalisis atau memberi penilaian terhadap informasi atau pengalaman yang disampaikan oleh manas. Ia adalah alat yang menyebabkan orang dapat berpikir logis, memahami segala yang diketahui.
4.  Citta, yakni hati nurani atau perasaan bathin. Kadang juga disebut sebagai memori yang menyimpan kenangan, pikiran yang menyebabkan orang dapat merasakan secara halus, atau menikmati pengalaman hidup secara murni.
            Setelah mengamati berbagai fenomena pikiran, Maharsi Patanjali mengklasifikasikan pikiran menurut fluktuasi, keadaan, dan kualitasnya atas 5 tipe “Pramana viparyaya vikalpa nidra smrtah” (yogasutra I:6), yaitu:
1.  Pramana, yakni pikiran yang mengamati, memahami, dan menikmati fenomena secara benar yang bertumpu pada ajaran suci.
2.  Viparyaya, yakni pikiran yang mengamati, memahami, dan menikmati fenomena secara salah. Sesuatu yang tidak abadi, yang bersifat relatif dipandangnya sebagai yang kekal-abadi.
3.  Vikalpa, yakni pikiran yang suka mengkhayal. Yang mengetahui dari omong kosong, dan yang terjebak pada halusinasi.
4.  Nidra, yakni pikiran yang lamban dan bodoh. Pikiran yang alpa.
5   Smrti, yakni pikiran yang mengenang, yang melekat-lekat pada sesuatu (yogasutra I:5-11).

2.3. Panca Klesa (5 Sumber Penderitaan)
            Maharsi Patanjali menyebutkan ada 5 sumber kedukaan yang setiap saat mengganggu kestabilan hidup manusia “Avidyasmita raga dvesabhinivesah klesah” (yogasutra II:3), yaitu:
1.  Avidya, yakni kebodohan atau menjadi bodoh (kegelapan). Tidak puna pengetahuan atau memiliki pengetahuan yang keliru. Bak Kala Sungsang.
2.  Asmita, yakni keakuan atau egois. Lobha ‘tamak’, mau menang sendiri, nyapa kadi aku ‘menyombongkan diri’. Bak Kala Ngadang, Kala Jengking atau Kala Caplokan.
3.  Raga, yakni suka atau keinginan yang berlebihan kepada harta dan kenikmatan duniawi, cinta buta, trsna ‘terikat pada yang dipandangnya menyenangkan’. Bak Kala Kuwuk atau Kala Klingkung.
4.  Dvesa, yakni kebalikan dari raga, terikat pada yang tidak menyenangkan, benci kepada yang tidak disenangi. Bak Kala Geger. Dikatakan juga bahwa raga, dvesa, dan asmita adalah 3 gerbang menuju neraka.
5.  Abhinivesa, yakni kasih sayang yang berlebihan (Zoetmulder, 1995:3), cinta berlebihan terhadap hidup, mau hidup terus, akibatnya takut akan kematian. Bak Kala Kingkingan.
            Kelima klesa ini adalah perintang besar dan berat yang kita kini hadapi, mereka adalah ‘grombolan musuh bawaan’ yang cendrung meraja pada diri kita. Cara menguasai diri kita adalah dengan cara meracuni pikiran jernih kita dengan janji-janji nikmat duniawi. Mpu Kanwa (AW XII:4) mewariskan resep untuk memerdekakan diri dari Panca Klesa, yaitu kita haruslah jengah. Dengan kesadaran bahwa tidak ada cara lain lagi untuk mencapai cita-cita bahagia. Cara kita untuk menjadi jengah adalah:
1.  Kita harus segera memahami secara sungguh betul bahwa 5 Klesa itu sebenarnya adalah musuh ‘sakti yang licik’. Mereka adalah sumber penderitaan yang sudah demikian lama menjajah diri kita. Kata Sang Yogisvara ‘Ragadi musuh maparo ring hati ya tonggwanya tan madoh ri awak’, ‘Raga dan kawan-kawannya itulah musuh, di ‘hati’ itulah tempatnya meraja, tidak jauh dari badan’ (Ramayana, I:4).
2.  Setelah kita tahu betul Klesa adalah musuh besar, kini kita haruslah vira-dhira ‘berani dan meneguhkan pendirian’ untuk merebut ke-mahardika-an hati. Caranya adalah menundukkan sang penjajah diri itu secara sistematis. Kesaktian dan kelicikannya itu harus diperkecil dan diperlemah bila mungkin sampai punah dengan cara yoga.

III. Pancamaya Kosa dan Tri Sarira
            Dalam kitab Prasana Upanisad dijelaskan bahwa tubuh ini terdiri dari 5 lapisan. Roh kita diselubungi oleh 5 lapisan yang bersifat maya. Pancamaya Kosa itu 5 lapis atau sarung roh. Dan harus disadari bahwa badan apapun wujudnya slalu bersifat maya ‘relatif’, tidak abadi, yaitu:
1.  Anamaya Kosa, yakni badan kasarnya manusia yang dibangun atas sari-sari makanan dan minuman. Badan kasar yang kasat mata ini merupakan lapis terluar yang menyelubungi atman, yang berfungsi sebagai alat atma menyatakan keberadaan dirinya.
2.  Pranamaya Kosa, yakni badan manusia yang lebih halus yaitu nafas (prana). Fungsi prana dapat dibedakan menjadi 10 (dasabayu), yaitu:
     1).   Prana, yakni nafas yang keluar masuk melalui hidung dan mulut, yang berfungsi mengaktifkan semua prana ‘daya hidup’ lainnya.
     2).   Apana, yakni daya hidup yang ada pada dubur dan kemaluan, yang fungsinya untuk mengaktifkan daya seksual dan anus.
     3).   Samana, yakni daya hidup yang ada dihati, yang berfungsi untuk mengolah sari-sari makanan-minuman menjadi daya hidup.
     4).   Udana, yakni daya hidup yang ada di ubun-ubun, yang berfungsi mengaktifkan mata, kening dan menumbuhkan rambut.
     5).   Byana, yakni daya hidup yang ada pada seluruh persendian, yang berfungsi untuk mengaktifkan persendian.
     6).   Naga, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat menyemburkan sesuatu.
     7).   Kurmara, yakni daya hidup yang menyebabkan orang gemetar.
     8).   Krkara, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat bersin dan menelan sesuatu.
     9).   Dewadata, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat menguap dan batuk.
     10). Dhananjaya, yakni daya hidup yang tetap tertinggal pada tubuh ketika roh lepas dari badan (mati), yang berfungsi menguasai jasad. (Wrhaspatti Tattwa, 39-46, Jnana Siddhanta, 1985:179-183).
Diantara 10 prana itu yang paling penting adalah prana, apana, samana, udana, dan byana, (Sanghyang Pancatma) yang berfungsi sebagai daya oleh atma menggerakkan badannya.
3.  Manomaya Kosa, yakni badan manusia yang lebih halus lagi, yang dikatakan sarung psikis. Sarung ini berupa manah (pikiran) dan ahamkara (ego).
4.  Wijnanamaya Kosa, yakni badan manusia yang sangat halus, berupa pengetahuan sejati atau gudang pengertian atau intelaeks yang disebut buddhi (daya budi atau daya cipta) alat sang atma.
5.  Anandhamaya Kosa, yakni sarung halus adalah sarung kembarnya wijnanamaya kosa. Disebut lapis kebahagiaan sejati (daya rasa yang murni). Kedua lapis ini adalah lapis terdalam (padma hredaya), ‘padma hati, hati nurani’ stana sang atma.
            Pancamaya Kosa bila dikaitkan dengan tri sarira, maka anna dan pranamaya kosa dapat disebut sthula sarira, yakni badan kasar manusia; manomaya kosa adalah suksma sarira, yakni badan mental atau badan psikis yang bersifat halus; sementara wijnanamaya kosa dan anandamaya kosa adalah antahkarana sarira, yakni badan astral atau badan dewa ‘ilahi’ yang bersifat gaib.


IV. Etika Yoga (Yama-Nyama Brata)
             Untuk dapat ekagra lau mencapai nirudha, orang pertama-tama dianjurkan untuk mentaati brata yoga, yang disebut yama dan niyama brata. Yama adalah pengekangan diri yang mesti senantiasa dilaksanakan. Sedangkan niyama brata adalah janji diri yang dapat dipandang sebagai pengokoh yama. Niyama dapat dilaksanakan secara tidak tetap tergantung situasi dan kondisi.

A. Yama Brata, 5 jenis disiplin utama yang disebut mahavrata ‘janji agung’; “ahima satasteya brahmacaryaparigraha yamah” (yogasutra. II:30). Artinya:
1.  Ahimsa, yaitu tidak bersikap atau berlaku kasar kepada sesama pun kepada makhluk lain, baik melalui pikiran, ucapan, maupun tindakan.
2.  Satya, yaitu bersikap dan berprilaku bajik, benar pada pikiran, setia pada ucapan, dan jujur pada perbuatan.
3.  Asteya, yaitu tidak mencuri.
4.  Brahmacarya, yaitu bersikap dan berlaku terkendali, mengendalikan nafsu asmara.
5.  Aparigraha, yaitu hidup sederhana atau tidak serakah.

B. Niyama Brata, 5 disiplin penunjang untuk mengukuhkan yama brata; ”sauca santosa tapah svadyayesvara pranindhanani niyamah” (yogasutra, II:3). Artinya:
1.  Sauca, yaitu berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun batin.
2.  Santosa, yaitu berusaha menjaga kestabilan emosi, agar selalu tenang, arif, dan damai dalam menghadapi suatu masalah.
3.  Tapa, yaitu berusaha untuk tahan uji, melenyapkan ketidak sempurnaan diri dengan melakukan tapa, yang berpegang teguh pada dharma.
4.  Swagdyaya, yaitu berusaha belajar mandiri dan tekun mempelajari kitab suci.
5.  Isvarapranidhana, yaitu berusaha selalu memusatkan pikiran dan bhakti kepada Isvara ‘Tuhan’.

V. Astangga Yoga
            Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga. Kedelapan tahapan yoga ini satu dengan yang lainnya saling terkait. Mengabaikan salah satu komponen penting tahapan ini berarti menghancurkan sistem yoga dan itu berarti gagal. Dalam lontar adalah delapan tahapan yoga. Kedelapan tahapan yoga ini satu dengan yang lainnya saling terkait. Mengabaikan salah satu komponen penting tahapan ini berarti menghancurkan sistem yoga dan itu berarti gagal. Dalam lontar Tattwa Jnana disebut prayogasandhi. Delapan tahapan yoga itu adalah:
1.  Yama, dasar moral yoga yang telah dijelaskan tadi didepan.
2.  Nyama, dasar moral yoga yang sudah dijelaskan juga tadi didepan.
3.  Asana, sikap duduk benar dan sempurna menurut sistem yoga (Zoetmulder 1995:67). Asana dapat dikelompokkan 3 posisi, yaitu: (1) duduk, (2) berdiri terbalik, (3) terlentang.
4.  Pranayama, latihan pernafasan (Zoetmulder, 1995:847), tujuan utamanya adalah agar tidak ada gangguan pernafasan dan dapat bernafas dengan lega dan alami melalui hidung yang diselaraskan dengan asana. Pranayama dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) puraka (menarik nafas), (2) khumbaka (menahan nafas), (3) recaka (mengeluarkan nafas).
5.  Prathahara, penarikan (Zoetmulder, 1995:856). Menarik indra dari objek kesukaannya,karena setiap indra mempunyai kesenangan sendiri-sendiri yang kemudian diarahkan kedalam diri.
6.  Dharana, tindakan memegang, membawa, menguasai, dan memiliki (Zoetmulder, 1995:196). Maharsi Patanjali mengajarkan 3 cara dharana, yaitu: (1) menguasai indra-indra agar tetap terkonsentrasi pada satu objek saja, tetap dibawah pengawasan manah (pikiran), (2) menentramkan gerak-gerik pikiran dengan watak lemah lembut, ceria, penuh kasih sayang dan tenang baik dalam keadaan duka maupun suka, (3) mengkonsentrasikan indra tersebut pada nafas yang keluar masuk tubuh (Yogasutra, I:32-25).
7.  Dhyana, berarti meditasi, refleksi, atau pemusatan pikiran (Zoetmulder, 1995:245), disebut juga kontemplasi atau renungan mendalam. Patanjali menjelaskan “tatra pratyaikatanata dhyanam” artinya, “arus pikiran terkonsentrasi tak putus-putusnya pada objek renungan”.
8.  Samadhi, kata ini berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam artinya kumpulan persamaan, gundukan, timbunan, sedangkan Dhi artinya pikiran, ide-ide, atau budi. Secara etimologis Samadhi berarti pemusatan atau kumpulan pemikiran yang ditujukan kepada satu objek tertentu, dalam konteks yoga objek sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa (Jendra, 1994:14). Renungan mendalam itu sesungguhnya adalah  Samadhi. Orang yang merenung (pemikir), aktivitas merenungnya (pemikirannya), dan yang direnungkan (objek yang dipikirkan). Maharsi Patanjali (yogasutra, I:17-18) menyatakan ada 2 jenis Samadhi, yaitu:
     1).   Samprajnata Samadhi, disebut juga sabija atau savikalpa samadhi, yakni keadaan supra sadar yang lebih rendah, karena masih ada benih kesadaran atau sisa kesan yang dirasakan.
     2).   Asamprajnata Samadhi atau nirbija atau nirvikalpa samadhi, adalah keadaan supra sadar yang transenden, yakni tidak menyadari lagi keadaan puncak yang dicapainya, ia mencapai kelepasan total, ia mencapai Sunya.























DAFTAR PUSTAKA


            Suka Yasa, I Wayan, dkk. 2006. Yoga (Marga Rahayu). Denpasar. Widya Dharma.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar