TUGAS
YOGA I
YOGA
MARGA
RAHAYU
(MERESUME
BUKU)
Dosen
Pengampu: I Ketut Sumardana, S.Pd.H
Oleh
:
Gede Ari Krisna Putra
NIM.
10.
1.1.1.1 3874
PAH
B
/ IV
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
YOGA
(MARGA
RAHAYU)
I.
Pengertian dan Tujuan Yoga
1.1.
Pengertian Yoga
Kata yoga
berasal dari bahasa Sanskerta “yuj”,
yaitu menghubungkan atau hubungan, yakni hubungan yang harmoni dengan objek
yoga. Maharsi Patanjali dalam kitabnya, Yogasutra
(I:2) mendefinisikan yoga: “yogas citta
vrtti nirodhah”, yang artinya, mengendalikan gerak-gerik pikiran, atau cara
untuk mengendalikan tingkah-polah pikiran yang cendrung liar, bias, dan lekat
terpesona oleh aneka ragam objek (yang dikhayalkan) memberi nikmat.
Oleh karena itu, kini kita mulai menyadari bahwa
mengendalikan pikiran adalah hal yang terpenting. Mengendalikan dalam konteks
yoga lebih berarti “amuter tutur
pinahayu” membalik kesadaran secara benar (Kanwa X:1). Artinya kesadaran
yang sebelumnya cendrung mengarah keluar dan suka berada diluar diri adalah
kesadaran yang lebih cenderung terjebak, karena seringkali didasari oleh
pengetahuan yang keliru. Maksudnya pikiran hendaknya diusahakan berdasar atas
pengetahuan yang benar. Biar seimbang dan tidak cendrung lupa diri,
sewaktu-waktu dalam waktu yang tepat kita perlu meluangkan waktu untuk membalik
pikiran, yakni diarahkan kedalam diri dengan cara:
1. Duduk mantap dalam diam terpejam,
2. Dengan
nafas halus alami,
3. Lalu secara
rileks menarik pikiran (indra) agar lepas sebentar dari aneka ragam objek
nikmatnya diluar,
4. Terus
diarahkan kembali pulang kanda, kedalam diri,
5. Terus
dibiasakan terkonsentrasi menembus lapis-lapis diri menuju pada satu titik
pusat meditasi (misal pada salah satu cakra, simpul batin),
6. Disitu lalu
ditenangkan, dimurnikan, dan dikontemplasikan dalam renungan mendalam,
7. Dan bila
berhasil mencapai puncak permenungan mendalam itu, maka terseraplah dalam
kelenyapan dalam itu, kebahagiaan sejati.
Kata Sang Rsi,
ia yang “ulah apageh” tekun berusaha
dan mantap, seperti itulah yang disebut-sebut sebagai orang yang berhasil dalam
yoga, mendapat pencerahan yang membahagiakan. Cirinya ia punya siddhi dan taksu daya bathin dan karisma. Laras dengan itu Mpu Kanwa
melukiskan pengalaman yoga Arjuna setelah ia berhasil dalam perjuangan
bathinnya memurnikan indra dan emosinya menjadi daya budi dan daya rasa. Disitu
Mpu Kanwa mengisyaratkan kepada kita bahwa, yoga adalah jalan kesucian untuk
menemukan-memahami-dan mengalami kemanunggalan dengan Yang Suci. Mpu Kanwa
tegas dan dengan berulang-ulang mengatakan caranya, mareka mendekati itu,
mendekati berarti berusaha menjadi (sahrdaya)
sehati. Jika itu Suci, maka kita haruslah berusaha menjadikan diri suci. Jika
itu Kebahagiaan, maka kita haruslah berusaha membahagiakan diri. Jika itu
Pengetahuan, maka kita haruslah berpengetahuan. Jika itu Kebajikan, maka kita
haruslah berbuat bajik.
Demikian disarankan, jadi kita harus tapa-bratha berusaha keras dan disiplin mendekatkan diri kepada
Tuhan. Mendekat sampai mampu mengidentifikasikan diri seidentik mungkin dengan
itu “Tuhan Sang Pujaan Hati”. Adapun yang dimaksud ‘Itu tampak nyata’ adalah
hasil yoga, yakni Siddha ‘berhasil’:
1. Menemui
itu,
2. Memikirkan
itu, demikian selalu,
3. Maka
bila tiba waktunya, sang yogin berhak dan mendapat manunggal dengan itu.
Itu adalah Siva, Sang
Hakekat Semesta, Sang Sumber Pengetahuan-Kebajikan-Kebahagiaan Sejati. Simpul
kata, yoga adalah jalan untuk mulat sarira ‘merefleksi diri, intropeksi diri’
yang menyebabkan orang tahu diri. Disebut juga sebagai jalan panyupatan
‘ruwatan’ yang dapat menjadikan orang suci lahir dan bathin. Suci berarti sahrdaya, yakni sehati dalam Tuhan Yang
Mahasuci.
1.2.
Tujuan Yoga
Tujuan riil (jangka pendek) orang belajar yoga adalah
agar menjadi manusia rahayu, sehat dan bahagia lahir bathin, tidak
sakit-sakitan, terhindar dari penderitaan. Agar menjadi manusia sadar, dapat
melaksanakan tugas hidup sebagaimana mestinya.
Sedangkan tujuan ideal (jangka panjang), seperti telah
disebutkan diatas adalah agar mendapat pengalaman religius, yakni
mengetahui-memahami-dan mengalami kemanunggalan dengan Sang Jati Diri,
manunggalnya atman ‘roh individu’
dengan Atman atau Brahman ‘Roh Semesta, Tuhan’. Akan tetapi bagi, pengagum daya
magis, siddhi ‘kekuatan supranatural’ itulah dijadikan tujuan utamanya, maka ia
melaksanakan yoga yang khas.
II.
Pikiran
Tentulah ada
sebab yang sangat mendasar dan penting, mengapa para maharsi pertama-tama
menaruh perhatian demikian besar kepada pikiran. Bhatara Isvara pun dalam
iraiannya tentang duka meletakan adhyatmika
duhka ‘duka akibat pikiran’ pada urutan pertama. Atas dasar itu, dalam
rangka buku yoga ini pun kita pertama mengutamakan pembahasan pikiran. Ada 3
persoalan pokok yang berkenan dengan pikiran:
1. Apa
itu Pikiran?
2.
Mengapa perlu dikendalikan?
3. Dan
bagaimana caranya mengendalikan Pikiran?
Jawaban para bijak
dapat kita temukan dalam kitab dan sastra suci Hindu, yang dirangkum sebagai
berikut.
2.1.
Pengaruh Pikiran
Maharsi
Patanjali menyebut pikiran itu citta, Beliau lalu mengatakan “pikiranlah
penyebab utama orang menderita atau bahagia. Hanya orang yang dapat
mengendalikan atau memanfaatkan pikirannya secara baik, apik dan benar saja
yang dapat hidup santosa” (Yogasutra
I: 12-17). Atas dasar itulah beliau mewariskan Yoga Darsana ‘ajaran yoga’ yang
lebih bersifat praktis mengimbangi pasangannya, Samkhya Darsana ‘ajaran
samkhya’, yang bersifat teoretis spekulatif. Inti ajarannya dirumuskan dalam
bentuk sutra ‘kalimat singkat yang padat makna dan bersifat puitis’. Inti
ajaran Muni Patanjali dirumuskan “Yogas
citta nirodhah” artinya yoga adalah mengendalikan gerak-gerik pikiran. Ada
3 konsep penting yang harus kita pahami dari rumusan itu, yakni konsep:
1. Nirodhah (mengendalikan),
2. Citta (pikiran), dan
3. Wrtti (fluktuasi, gelombang, gerak-gerik
pikiran).
Maharsi Wararuci, dalam kitabnya Sarasamuscaya (sloka 79-82),
juga mengatakan simpulan yang senada dengan rumusan Muni Patanjali, “pikiranlah
yang menjadi penentu utama, maka orang menderita atau bahagia. Karena pikiran
adalah sang penguasa indria. Pikiranlah yang menyebabkan orang berbuat baik
atau buruk. Jika orang dapat mengendalikan pikirannya, pastilah ia memperolaeh
kebahagiaan, baik sekarang maupun dikemudian hari”.
Mpu Kanwa, dalam kekawin monumentalnya Kekawin Arjunawiwaha (I:5) pun
mengatakan hal yang senada, “tidak ada manfaatnya merafal japa-mantra (formula suci) itu jika orang masih dikuasai oleh guna
rajas dan tamas (sifat egois dan gelap bathin). Akan tetapi ia yang tekun
mengendalikan pikiran dan tekun bhakti kepada Tuhan, pastilah mendapat restu
mencapai keberhasilan hidup, dapat nikmat kebahagiaan lahir dan bathin”.
2.2.
Fluktuasi dan Fungsi Pikiran
Menurut gerak
lincah-egois dan terpusat-tenangnya pikiran dapat dibedakan atas 5 jenis, yaitu:
1. Ksipta, yakni pikiran yang tidak pernah
diam. Orang ksipta pikirannya bagaikan prilaku anak kecil, tidak pernah diam,
segala yang baru dilihatnya dianggapnya baik, setiap ajaran yang baru segera
dianutnya.
2. Mudha, yakni pikiran yang egois. Pikiran
orang mudha bagaikan prilaku anak muda, yang congkak, sombong, tamak, angkara
dll.
3. Wiksipta, yakni pikiran yang mulai
dewasa, tetapi masih mendua dan sering ragu. Orang wiksipta paham akan
tingkatan-tingkatan ajaran hakikat, tingkah polahnya menurut ajaran susila,
tahu perbuatan baik-buruk, akan tetapi tetap saja ada keraguan dihatinya,
karena guna rajas masih kuat mempengaruhi dirinya.
4. Ekagra atau Ekakrta, yakni pikiran yang terpusat. Orang ekagra keadaan
pikirannya tenang karena pengaruh guna sattwam yang kuat pada dirinya, dan ia
melalui disiplin diri mengikuti tahapan-tahapan padu latihan yoga.
5. Nirudha, yakni pikiran yang tenang
santosa. Keadaan pikiran ini diperoleh setelah orang mampu ekagra, ‘memusatkan
pikiran secara tepat, mantap dan baik’.
Sementara dari sudut pandang fungsi pikiran dapat
dibedakan atas 4 bagian, yaitu:
1. Manas, yakni pikiran yang fungsinya
hanya untuk penerima informasi atau pengalaman dari dasendriya. Ia dipandang
sebagai pikiran yang lebih bersifat objektif, karena hanya menerima.
2. Ahamkara, yakni pikiran yang fungsinya
mengakui. Disebut ego, ini milikku, aku ingin itu dll. Ia adalah pikiran yang
bersifat subjektif karena keakuannya, yakni mengakui atau menikmati kesan yang
diterima manah.
3. Buddhi, yakni inteleks. Pikiran yang
fungsinya menganalisis atau memberi penilaian terhadap informasi atau
pengalaman yang disampaikan oleh manas. Ia adalah alat yang menyebabkan orang
dapat berpikir logis, memahami segala yang diketahui.
4. Citta, yakni hati nurani atau perasaan
bathin. Kadang juga disebut sebagai memori yang menyimpan kenangan, pikiran
yang menyebabkan orang dapat merasakan secara halus, atau menikmati pengalaman
hidup secara murni.
Setelah mengamati berbagai fenomena pikiran, Maharsi
Patanjali mengklasifikasikan pikiran menurut fluktuasi, keadaan, dan
kualitasnya atas 5 tipe “Pramana
viparyaya vikalpa nidra smrtah” (yogasutra
I:6), yaitu:
1. Pramana, yakni pikiran yang mengamati,
memahami, dan menikmati fenomena secara benar yang bertumpu pada ajaran suci.
2. Viparyaya, yakni pikiran yang mengamati,
memahami, dan menikmati fenomena secara salah. Sesuatu yang tidak abadi, yang
bersifat relatif dipandangnya sebagai yang kekal-abadi.
3. Vikalpa, yakni pikiran yang suka
mengkhayal. Yang mengetahui dari omong kosong, dan yang terjebak pada
halusinasi.
4. Nidra, yakni pikiran yang lamban dan
bodoh. Pikiran yang alpa.
5 Smrti, yakni pikiran yang mengenang,
yang melekat-lekat pada sesuatu (yogasutra
I:5-11).
2.3.
Panca Klesa (5 Sumber Penderitaan)
Maharsi Patanjali menyebutkan ada 5 sumber kedukaan yang
setiap saat mengganggu kestabilan hidup manusia “Avidyasmita raga dvesabhinivesah klesah” (yogasutra II:3), yaitu:
1. Avidya, yakni kebodohan atau menjadi
bodoh (kegelapan). Tidak puna pengetahuan atau memiliki pengetahuan yang
keliru. Bak Kala Sungsang.
2. Asmita, yakni keakuan atau egois. Lobha ‘tamak’, mau menang sendiri, nyapa kadi aku ‘menyombongkan diri’. Bak Kala Ngadang, Kala Jengking atau
Kala Caplokan.
3. Raga, yakni suka atau keinginan yang
berlebihan kepada harta dan kenikmatan duniawi, cinta buta, trsna ‘terikat pada yang dipandangnya
menyenangkan’. Bak Kala Kuwuk atau Kala Klingkung.
4. Dvesa, yakni kebalikan dari raga, terikat pada yang tidak
menyenangkan, benci kepada yang tidak disenangi. Bak Kala Geger. Dikatakan juga
bahwa raga, dvesa, dan asmita adalah 3 gerbang menuju neraka.
5. Abhinivesa, yakni kasih sayang yang
berlebihan (Zoetmulder, 1995:3), cinta berlebihan terhadap hidup, mau hidup
terus, akibatnya takut akan kematian. Bak Kala Kingkingan.
Kelima klesa
ini adalah perintang besar dan berat yang kita kini hadapi, mereka adalah
‘grombolan musuh bawaan’ yang cendrung meraja pada diri kita. Cara menguasai
diri kita adalah dengan cara meracuni pikiran jernih kita dengan janji-janji
nikmat duniawi. Mpu Kanwa (AW XII:4) mewariskan resep untuk memerdekakan diri
dari Panca Klesa, yaitu kita haruslah jengah.
Dengan kesadaran bahwa tidak ada cara lain lagi untuk mencapai cita-cita
bahagia. Cara kita untuk menjadi jengah
adalah:
1. Kita
harus segera memahami secara sungguh betul bahwa 5 Klesa itu sebenarnya adalah
musuh ‘sakti yang licik’. Mereka adalah sumber penderitaan yang sudah demikian
lama menjajah diri kita. Kata Sang Yogisvara ‘Ragadi musuh maparo ring hati ya tonggwanya tan madoh ri awak’, ‘Raga dan kawan-kawannya itulah musuh, di
‘hati’ itulah tempatnya meraja, tidak jauh dari badan’ (Ramayana, I:4).
2. Setelah
kita tahu betul Klesa adalah musuh besar, kini kita haruslah vira-dhira ‘berani
dan meneguhkan pendirian’ untuk merebut ke-mahardika-an hati. Caranya adalah
menundukkan sang penjajah diri itu secara sistematis. Kesaktian dan
kelicikannya itu harus diperkecil dan diperlemah bila mungkin sampai punah
dengan cara yoga.
III.
Pancamaya Kosa dan Tri Sarira
Dalam kitab Prasana
Upanisad dijelaskan bahwa tubuh ini terdiri dari 5 lapisan. Roh kita
diselubungi oleh 5 lapisan yang bersifat maya.
Pancamaya Kosa itu 5 lapis atau
sarung roh. Dan harus disadari bahwa badan apapun wujudnya slalu bersifat maya
‘relatif’, tidak abadi, yaitu:
1. Anamaya Kosa, yakni badan kasarnya
manusia yang dibangun atas sari-sari makanan dan minuman. Badan kasar yang
kasat mata ini merupakan lapis terluar yang menyelubungi atman, yang berfungsi sebagai alat atma menyatakan keberadaan dirinya.
2. Pranamaya Kosa, yakni badan manusia yang
lebih halus yaitu nafas (prana).
Fungsi prana dapat dibedakan menjadi
10 (dasabayu), yaitu:
1). Prana, yakni nafas yang keluar masuk melalui hidung dan mulut, yang
berfungsi mengaktifkan semua prana ‘daya hidup’ lainnya.
2). Apana, yakni daya hidup yang ada pada dubur dan kemaluan, yang
fungsinya untuk mengaktifkan daya seksual dan anus.
3). Samana, yakni daya hidup yang ada dihati, yang berfungsi untuk
mengolah sari-sari makanan-minuman menjadi daya hidup.
4). Udana, yakni daya hidup yang ada di ubun-ubun, yang berfungsi
mengaktifkan mata, kening dan menumbuhkan rambut.
5). Byana, yakni daya hidup yang ada pada seluruh persendian, yang
berfungsi untuk mengaktifkan persendian.
6). Naga, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat menyemburkan
sesuatu.
7). Kurmara, yakni daya hidup yang menyebabkan orang gemetar.
8). Krkara, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat bersin dan
menelan sesuatu.
9). Dewadata, yakni daya hidup yang menyebabkan orang dapat menguap dan
batuk.
10). Dhananjaya, yakni daya hidup yang tetap tertinggal pada tubuh
ketika roh lepas dari badan (mati), yang berfungsi menguasai jasad. (Wrhaspatti Tattwa, 39-46, Jnana Siddhanta, 1985:179-183).
Diantara 10 prana itu yang paling penting adalah prana, apana, samana, udana, dan byana, (Sanghyang Pancatma) yang
berfungsi sebagai daya oleh atma
menggerakkan badannya.
3. Manomaya
Kosa, yakni badan manusia yang lebih halus lagi, yang dikatakan sarung
psikis. Sarung ini berupa manah (pikiran) dan
ahamkara (ego).
4. Wijnanamaya
Kosa, yakni badan manusia yang sangat halus, berupa pengetahuan sejati atau
gudang pengertian atau intelaeks yang disebut buddhi (daya budi atau daya cipta) alat sang atma.
5. Anandhamaya
Kosa, yakni sarung halus adalah sarung kembarnya wijnanamaya kosa. Disebut lapis kebahagiaan sejati (daya rasa yang
murni). Kedua lapis ini adalah lapis terdalam (padma hredaya), ‘padma hati, hati nurani’ stana sang atma.
Pancamaya
Kosa bila dikaitkan dengan tri
sarira, maka anna dan pranamaya kosa dapat disebut sthula sarira, yakni badan kasar
manusia; manomaya kosa adalah suksma sarira, yakni badan mental atau
badan psikis yang bersifat halus; sementara wijnanamaya
kosa dan anandamaya kosa adalah antahkarana sarira, yakni badan astral
atau badan dewa ‘ilahi’ yang bersifat gaib.
IV.
Etika Yoga (Yama-Nyama Brata)
Untuk dapat ekagra lau mencapai nirudha,
orang pertama-tama dianjurkan untuk mentaati brata yoga, yang disebut yama
dan niyama brata. Yama adalah pengekangan diri yang mesti
senantiasa dilaksanakan. Sedangkan niyama
brata adalah janji diri yang dapat dipandang sebagai pengokoh yama. Niyama dapat dilaksanakan secara tidak tetap tergantung situasi dan
kondisi.
A. Yama Brata, 5 jenis disiplin utama yang
disebut mahavrata ‘janji agung’; “ahima satasteya brahmacaryaparigraha yamah”
(yogasutra. II:30). Artinya:
1. Ahimsa, yaitu
tidak bersikap atau berlaku kasar kepada sesama pun kepada makhluk lain, baik
melalui pikiran, ucapan, maupun tindakan.
2. Satya, yaitu
bersikap dan berprilaku bajik, benar pada pikiran, setia pada ucapan, dan jujur
pada perbuatan.
3. Asteya, yaitu
tidak mencuri.
4. Brahmacarya,
yaitu bersikap dan berlaku terkendali, mengendalikan nafsu asmara.
5. Aparigraha,
yaitu hidup sederhana atau tidak serakah.
B.
Niyama Brata, 5 disiplin penunjang untuk mengukuhkan yama brata; ”sauca santosa tapah
svadyayesvara pranindhanani niyamah” (yogasutra,
II:3). Artinya:
1. Sauca, yaitu
berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun batin.
2. Santosa,
yaitu berusaha menjaga kestabilan emosi, agar selalu tenang, arif, dan
damai dalam menghadapi suatu masalah.
3. Tapa, yaitu
berusaha untuk tahan uji, melenyapkan ketidak sempurnaan diri dengan melakukan tapa, yang berpegang teguh pada dharma.
4. Swagdyaya,
yaitu berusaha belajar mandiri dan tekun mempelajari kitab suci.
5. Isvarapranidhana,
yaitu berusaha selalu memusatkan pikiran dan bhakti kepada Isvara ‘Tuhan’.
V.
Astangga Yoga
Astangga
Yoga adalah delapan tahapan yoga. Kedelapan tahapan yoga
ini satu dengan yang lainnya saling terkait. Mengabaikan salah satu komponen
penting tahapan ini berarti menghancurkan sistem yoga dan itu berarti gagal.
Dalam lontar adalah delapan tahapan yoga. Kedelapan tahapan yoga ini satu
dengan yang lainnya saling terkait. Mengabaikan salah satu komponen penting
tahapan ini berarti menghancurkan sistem yoga dan itu berarti gagal. Dalam
lontar Tattwa Jnana disebut prayogasandhi. Delapan tahapan yoga itu
adalah:
1. Yama, dasar moral yoga yang telah
dijelaskan tadi didepan.
2. Nyama, dasar moral yoga yang sudah
dijelaskan juga tadi didepan.
3. Asana, sikap duduk benar dan sempurna
menurut sistem yoga (Zoetmulder 1995:67). Asana
dapat dikelompokkan 3 posisi, yaitu: (1) duduk, (2) berdiri terbalik, (3)
terlentang.
4. Pranayama, latihan pernafasan
(Zoetmulder, 1995:847), tujuan utamanya adalah agar tidak ada gangguan
pernafasan dan dapat bernafas dengan lega dan alami melalui hidung yang
diselaraskan dengan asana. Pranayama dapat dikelompokkan menjadi 3,
yaitu: (1) puraka (menarik nafas),
(2) khumbaka (menahan nafas), (3) recaka (mengeluarkan nafas).
5. Prathahara, penarikan (Zoetmulder,
1995:856). Menarik indra dari objek kesukaannya,karena setiap indra mempunyai
kesenangan sendiri-sendiri yang kemudian diarahkan kedalam diri.
6. Dharana, tindakan memegang, membawa,
menguasai, dan memiliki (Zoetmulder, 1995:196). Maharsi Patanjali mengajarkan 3
cara dharana, yaitu: (1) menguasai
indra-indra agar tetap terkonsentrasi pada satu objek saja, tetap dibawah
pengawasan manah (pikiran), (2) menentramkan
gerak-gerik pikiran dengan watak lemah lembut, ceria, penuh kasih sayang dan
tenang baik dalam keadaan duka maupun suka, (3) mengkonsentrasikan indra
tersebut pada nafas yang keluar masuk tubuh (Yogasutra, I:32-25).
7. Dhyana, berarti meditasi, refleksi, atau
pemusatan pikiran (Zoetmulder, 1995:245), disebut juga kontemplasi atau
renungan mendalam. Patanjali menjelaskan “tatra
pratyaikatanata dhyanam” artinya, “arus pikiran terkonsentrasi tak
putus-putusnya pada objek renungan”.
8. Samadhi, kata ini berasal dari urat kata
sam dan dhi. Sam artinya kumpulan persamaan, gundukan, timbunan, sedangkan Dhi artinya pikiran, ide-ide, atau budi.
Secara etimologis Samadhi berarti
pemusatan atau kumpulan pemikiran yang ditujukan kepada satu objek tertentu,
dalam konteks yoga objek sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa (Jendra,
1994:14). Renungan mendalam itu sesungguhnya adalah Samadhi. Orang yang merenung
(pemikir), aktivitas merenungnya (pemikirannya), dan yang direnungkan (objek
yang dipikirkan). Maharsi Patanjali (yogasutra, I:17-18) menyatakan ada 2 jenis
Samadhi, yaitu:
1). Samprajnata
Samadhi, disebut juga sabija atau
savikalpa samadhi, yakni keadaan
supra sadar yang lebih rendah, karena masih ada benih kesadaran atau sisa kesan
yang dirasakan.
2). Asamprajnata
Samadhi atau nirbija atau nirvikalpa samadhi, adalah keadaan supra
sadar yang transenden, yakni tidak menyadari lagi keadaan puncak yang
dicapainya, ia mencapai kelepasan total, ia mencapai Sunya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suka Yasa, I
Wayan, dkk. 2006. Yoga (Marga Rahayu). Denpasar.
Widya Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar