Selasa, 28 Januari 2014



Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Manu berpengaruh sekali pada bentuk hukum dan perundang – undangan Majapahit. Ini secara dinyatakan langsung dalam kitab Kutara Manawa yang dijadikan sebagai kitab perundang – undangan dalam kerajaan Majapahit di Jawa Timur, terutama pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara.
Dalam susunan pengadilan kita juga mengenal adanya Dhyaksa. Seorang Dharmadhyaksa Kasaiwan, seorang Dharmadhyaksa Ksakasogatan, yakni agama siwa dan pemimpin agama Budha dengan sebutan Dang Acarya, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala perundang – undangan didasarkan pada agama. Sang Dharmadhyaksa dibantu lagi oleh lima Upapatti artinya : pembantu yang dalam piagam biasa disebut pemegat, baik Dharmadhayaksa maupun Upapatti disebut juga dengan Acarya. Upapatti ini dalam perkembangan selanjutnya jumlahnya makin banyak. (Slametmulya, 1979, 189-195). Sampai disini jelas sekali adanya gambaran hakim majelis yang melibatkan Dang Acarya, sebagai orang suci yang tidak diragukan lagi kejujurannya, integritas dan dapat melihat kebenaran yang hakiki.
Kerajaan Majapahit dalam sejarah kita kenal berhasil mempersatukan Nusantara yang kita warisi sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada setiap daerah jajahannya, Majapahit nampaknya selalu berusaha menenemkan segala pengaruhnya, termasuk dalam bidang hukum. Di Bali pengaruh ini kentra sekali, meskipun dalam penerapannya banyak mengalami modifikasi. Terutama memberi hukumannya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penduduk setempat. Gede Pudja mengatakan bagian – bagian dari ajaran – ajaran dan pasal – pasal dalam Dharmasastra telah diambil alih dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari hukum itu berpengaruh dan masih tetap berlaku pada hukum positif di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku bagi golongan Hindu semata – mata (Gede Pudja, 1977 : 34).
Pada jaman bali kono, kerajaan – kerajaandi Bali seperti di masa kejayaan Jayapangus dilengkapi pula dengan lembaga peradilan. Ini membuktikan dari peran pendeta sebagai saksi dalam persidangan sebagaimana dinyatakan dalam prasasti kediri 629 B.Via. (Sukarto K.Atmojo dalam SA.Ketut Renik, 1988:15) dalam bait (1) dari prasasti : Telah dipersaksikan di depan tandarakyan rin pakiran kiran, (2) Ijro makabehan seperti para senopati terutama para pendeta Siwa dan Budha. Yang yang hadir pada waktu itu senopati Belambunut. Persaksian semacam itu dapat terbaca pula dalam prasasti 350 Abang Pura Batur A (933 S). Majalah Universitas Udayana, (XV No. 18,198:15-16).
Masa – masa setelah berakhirnya periode Bali kuno, kita mewarisi adanya pengadilan desa tiap – tiap desa di Bali. Para hakim yang bertindak memutuskan perkara – perkara biasanya ditangani atau diambil alih langsung oleh para tetua desa dan orang – orang yang dianggap tau tentang hukum adat atau kebiasaan – kebiasaan setempat yang bersumber pada ajaran – ajaran agama. Tidak dijumpai catatan tertulis mengenai hukum yang diterapkan pada kesepakatan bersama warga desa yang sudah turun temurun. Tetapi setiap keputusan biasanya ditundukkan
Sampai kepada kedatangan Belanda ditahun 1949, yang ditandai dengan perang jagaraga, pengadilan Kerta di Bali, terutama sebelum tahun 1930, para tetua desa seiring diminta pendapatnya mengenai berbagai sengketa yang timbul di masyarakat. Atau juga persoalan – persoalan itu diajukan kepada para Brahmana ahli.
Peradilan kerta di Bali dibangun 33 tahun, terhitung sejak perang jagaraga tahun 1849, tepatnya tahun 1882 (Buleleng) dan (Jemrana). Raad Kerta-Raad kerta di kabupaten lain , dibangun menyusun belakangan, Karangasem tahun 1894, Klungkung 1910, Gianyar dan Bangli 1916.
Dalam penelitian kita, Raad Kerta di Bali merupakan konkritisasi nilai – nilai hukumHindu dibuktikan dari kitab – kitab hukum – hukum yang dijadikan pegangan para hakim kerta, seperti Agama, Adigama, Purwagama, Manawa Swarga, dan Kutaragama setra kitab – kitab hukum yang lain. Yang banyak mengacu hukum Manu atau Weda Smerti.
Demikian gambaran mengenai konkritisasi hukum Hindu dalam peradilan sejak jaman Manu sampai pada jaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar