Dalam
perkembangan selanjutnya, hukum Manu berpengaruh sekali pada bentuk hukum dan
perundang – undangan Majapahit. Ini secara dinyatakan langsung dalam kitab
Kutara Manawa yang dijadikan sebagai kitab perundang – undangan dalam kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, terutama pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri
Rajasanegara.
Dalam susunan
pengadilan kita juga mengenal adanya Dhyaksa. Seorang Dharmadhyaksa Kasaiwan,
seorang Dharmadhyaksa Ksakasogatan, yakni agama siwa dan pemimpin agama Budha
dengan sebutan Dang Acarya, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam
kerajaan Majapahit dan segala perundang – undangan didasarkan pada agama. Sang
Dharmadhyaksa dibantu lagi oleh lima Upapatti artinya : pembantu yang dalam
piagam biasa disebut pemegat, baik Dharmadhayaksa maupun Upapatti disebut juga
dengan Acarya. Upapatti ini dalam perkembangan selanjutnya jumlahnya makin
banyak. (Slametmulya, 1979, 189-195). Sampai disini jelas sekali adanya
gambaran hakim majelis yang melibatkan Dang Acarya, sebagai orang suci yang
tidak diragukan lagi kejujurannya, integritas dan dapat melihat kebenaran yang
hakiki.
Kerajaan
Majapahit dalam sejarah kita kenal berhasil mempersatukan Nusantara yang kita
warisi sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada setiap daerah
jajahannya, Majapahit nampaknya selalu berusaha menenemkan segala pengaruhnya,
termasuk dalam bidang hukum. Di Bali pengaruh ini kentra sekali, meskipun dalam
penerapannya banyak mengalami modifikasi. Terutama memberi hukumannya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penduduk setempat. Gede Pudja
mengatakan bagian – bagian dari ajaran – ajaran dan pasal – pasal dalam
Dharmasastra telah diambil alih dan dipergunakan sebagai hukum pada masa
kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara
tidak disadari hukum itu berpengaruh dan masih tetap berlaku pada hukum positif
di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan
kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah
bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku bagi golongan
Hindu semata – mata (Gede Pudja, 1977 : 34).
Pada jaman
bali kono, kerajaan – kerajaandi Bali seperti di masa kejayaan Jayapangus
dilengkapi pula dengan lembaga peradilan. Ini membuktikan dari peran pendeta
sebagai saksi dalam persidangan sebagaimana dinyatakan dalam prasasti kediri
629 B.Via. (Sukarto K.Atmojo dalam SA.Ketut Renik, 1988:15) dalam bait (1) dari
prasasti : Telah dipersaksikan di depan tandarakyan rin pakiran kiran, (2) Ijro
makabehan seperti para senopati terutama para pendeta Siwa dan Budha. Yang yang
hadir pada waktu itu senopati Belambunut. Persaksian semacam itu dapat terbaca
pula dalam prasasti 350 Abang Pura Batur A (933 S). Majalah Universitas
Udayana, (XV No. 18,198:15-16).
Masa – masa
setelah berakhirnya periode Bali kuno, kita mewarisi adanya pengadilan desa
tiap – tiap desa di Bali. Para hakim yang bertindak memutuskan perkara –
perkara biasanya ditangani atau diambil alih langsung oleh para tetua desa dan
orang – orang yang dianggap tau tentang hukum adat atau kebiasaan – kebiasaan
setempat yang bersumber pada ajaran – ajaran agama. Tidak dijumpai catatan
tertulis mengenai hukum yang diterapkan pada kesepakatan bersama warga desa
yang sudah turun temurun. Tetapi setiap keputusan biasanya ditundukkan
Sampai kepada
kedatangan Belanda ditahun 1949, yang ditandai dengan perang jagaraga,
pengadilan Kerta di Bali, terutama sebelum tahun 1930, para tetua desa seiring
diminta pendapatnya mengenai berbagai sengketa yang timbul di masyarakat. Atau
juga persoalan – persoalan itu diajukan kepada para Brahmana ahli.
Peradilan
kerta di Bali dibangun 33 tahun, terhitung sejak perang jagaraga tahun 1849,
tepatnya tahun 1882 (Buleleng) dan (Jemrana). Raad Kerta-Raad kerta di
kabupaten lain , dibangun menyusun belakangan, Karangasem tahun 1894, Klungkung
1910, Gianyar dan Bangli 1916.
Dalam
penelitian kita, Raad Kerta di Bali merupakan konkritisasi nilai – nilai
hukumHindu dibuktikan dari kitab – kitab hukum – hukum yang dijadikan pegangan
para hakim kerta, seperti Agama, Adigama, Purwagama, Manawa Swarga, dan
Kutaragama setra kitab – kitab hukum yang lain. Yang banyak mengacu hukum Manu
atau Weda Smerti.
Demikian
gambaran mengenai konkritisasi hukum Hindu dalam peradilan sejak jaman Manu
sampai pada jaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar